Jumat, 25 September 2015

Indahnya Pantai Losari


Yohooo... ceritanya, senin kemarin saya dikasih tiket gratis PP Jakarta-Ujung Pandang-Jakarta dari kantor. Bukan tanpa maksud sih, sekalian (katanya) sambil aanwizing lapangan. Cuma begitulah, sebagai wanita, mental free tak bisa dikesampingkan apalagi di kebelakangkan, hehehe... jadilah saya memanfaatkan waktu kosong sebelum terbang kembali ke rimba Jakarta dengan jalan-jalan atau lebih tepatnya foto-foto narsis ala bocah (tabi gak labil).


Tiba di Bandara Hasanudin tengah hari saya disambut oleh sinar matahari yang menyengat luar biasa. Biasanya bulan-bulan ini sudah masuk musim penghujan memang, namun sepertinya alam belum  begitu bersahabat untuk menyejukan bumi. Bandaranya cukup bagus dan bersih, namun sayang, kamar mandinya tidak begitu bersih.
Sambil menunggu rekan yang kebetulan akan tiba satu jam kemudian, saya duduk-duduk di sekitaran bandara. Ini kali kedua saya melakukan perjalanan domestik melalui jalur pesawat terbang. Sebelumnya saya pernah berkunjung (atau lebih tepatnya PPL) di Bengkulu. Perjalanan Jakarta-Bengkulu kurang lebih sekitar 1 jam 15 menit, sedangkan Jakarta-Ujung Pandang kurang lebui sekitar 2 jam 15 menit. Saya baru tahu kalau ternyata perjalanan Jakarta-Ujung Pandang lebih jauh dibandingkan Jakarta-Kuala Lumpur (hahaha... maklum, selama ini saya hanya kenal moda transportasi delman dan ojek).
Aanwiziing selesai sekitar jam setengah tujuh malam, saya pun diantar menuju hotel (mungkin karena saya perempuan satu-satunya dalam acara tersebut, rekan-rekan yang lain jadi begitu baik, fufufu... jadi terharu, terima kasih bapak-bapak sekalian, jazakumullah). Dan di kamar inilah saya akan menghabiskan satu malam, sendiri. 

Hotel yang saya booking tepat berada di kawasan Pantai Losari, karena itu, setelah selesai mandi dan bersih-bersih saya jalan-jalan di sekitar pantai. Khas daerah pantai, sudah berjejer gerobak-gerobak penjual jagung bakar dan kelapa muda. Tapi karena dari pagi perut saya belum diisi apapun, maka saya memutuskan untuk mencari rumah makan yang menjual nasi. Berhubung saya lagi di Makassar, tidak salah donk jika saya mencicipi Cotto Makassar langsung di tempat aslinya. Rasanya enak, hanya saja, bagi lidah saya yang terbiasa dengan makanan "hambar", bumbu cotto terasa terlalu pekat. Tapi secara umum saya menyukainya. Suasana pantai benar-benar ramai, banyak pasangan muda-mudi, keluarga dan rombongan yang nongkrong di sekitaran pantai.
Meski sendiri, saya tidak merasa bosan, ada dua anak perempuan yang juga kebetulan duduk di samping saya, usianya terpaut lima tahunan dengan saya. Mereka bercerita tentang asal dan alasan mereka datang ke pantai malam itu. Setelah cukup puas menghirup udara malam, saya pulang ke hotel, tapi ketika masuk elevator saya mendapati ada lantai rooftop yang dipakai untuk caffee, maka saya pun menekan tombol menuju lantai tersebut. Ternyata hanya caffee biasa, pengunjungnya mungkin tamu-tamu hotel, menu yang disajikan pun tidak terlalu banyak. Jadilah saya memesan segelas es krim vanilla yang terhitung sangat mahal. Heuheu... segelas es krim harganya lebih mahal dibandingkan seporsi cotto makassar ^^".


Keesokan harinya, setelah sarapan saya duduk-duduk di balkon hotel. Pemandangan dari balkon tersebut benar-benar indah. Saya yang lahir dan tumbuh di kota yang jauh dari pantai, selalu terkesima menatap hamparan air yang berpadu dengan birunya langit. Semilir angin seolah meninabobokan dan membujuk saya untuk kembali tidur di kamar. Maka sebelum saya benar-benar "terpedaya" oleh rasa kantuk, saya segera turun menuju lobby hotel.



Sepuluh menit berjalan ke arah utara, saya sampai di Fort Rotterdam. Benteng yang dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 ini cukup luas, karena keterbatasan waktu, akhirnya saya hanya bisa menjelajahi satu gedung yang difungsikan sebagai museum, Museum Lagaligo.




Selesai berkeliling museum saya naik beca ke arah Pantai Losari (lagi). Berbeda dengan suasana malam hari yang sangat ramai, pagi ini saya hanya bertemu dengan beberapa orang saja. Tentu saja, selain terik matahari yang bisa dengan segera membuat kulit menjadi "begitu eksotis", ini juga hari kerja. Maka perjalanan pun diakhiri dengan foto di bawah ini.
Sebelumnya saya tertawa ketika mendengar cerita rekan saya tentang temannya yang pertama kali berkunjung ke Kota Makassar, rela merem (menyipitkan mata lantaran silau oleh cahaya matahari) demi foto-foto di depan pantai. Begitu saya lihat foto-foto yang saya ambil ternyata memang tidak jauh berbeda. Hahahaha...





Selasa, 15 September 2015

Taman Ismail Marzuki; Nongkrong sambil ngasah otak kanan

Pada tanggal 5 September 2015 lalu saya menghadiri acara pembukaan JermanFest yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta-tentu saja bukan sebagai tamu undangan, hanya pengunjung yang datang untuk meramaikan acara. Acaranya sendiri dimulai dari jam 06.00 sore, dengan nonton bareng sebagai inti acara. Tapi berhubung saya tidak punya kegiatan lain di hari tersebut, maka saya datang lebih awal, saya berniat menyaksikan pertunjukan di Planetarium dan Observatorium Jakarta.
Taman Ismail Marzuki (TIM) berlokasi di Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Pembukaannya diresmikan oleh Gubernur Pemerintah Daerah Jakarta, Jenderal Marinir Ali Sadikin pada tanggal 10 Nopember 1968. Mana Ismail Marzuki diambil dari nama seorang komponis pejuang kelahiran Betawi.
Ini pertama kali saya berkunjung ke TIM, sehingga membuat saya benar-benar terkesan dengan kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung. Pernah satu waktu saya lewat di depan TIM, rekan saya yang asli Jakarta bilang kalau di TIM memang selalu ramai, banyak kegiatan baik di siang maupun malam hari, cocok untuk jadi tempat jalan ketika akhir pekan. Seperti yang saya sebutkan tadi, tujuan utama saya berkunjung ke TIM adalah untuk melihat pembukaan JermanFest, namun karena masih siang saya bermaksud menonton pertunjukan di Planetarium dan Observatorium Jakarta yang kebetulan masih berada di kompleks TIM.
Saya begitu bersemangat untuk menonton pertunjukan, tapi begitu sampai di pintu masuk, ternyata tutup. Saat mengkonfirmasi satpam yang ada disana, katanya proyektor utama sedang dalam perbaikan, jadi tidak ada pertunjukan di Planetarium dan Observatorium. Perbaikan pun belum tahu akan memakan waktu berapa lama, sehingga belum ada pemberitahuan kapan akan ada lagi pertunjukan.
Setelah saya cek, meski tidak ada pertunjukan, peneropongan benda langit tetap buka. Kegiatan ini terbuka untuk umum dan gratis, namun hanya pada hari dan jam yang ditentukan. Sayangnya untuk jadwal bulan ini tidak ada kegiatan peneropongan di akhir pekan, sehingga saya belum punya kesempatan.
Meski bukan seorang penggila astronomi, saya termasuk orang yang menyukai ilmu astronomi. Waktu sekolah dulu, saya sempat belajar Ilmu Hisab (Perhitungan-waktu yang berdasarkan pada rotasi bulan dan revolusi matahari). Saya belajar menghitung jumlah hari dalam satu bulan hinjriyah yang berpatokan pada kemunculan hilal (sebagai penanda awal bulan), serta belajar menghitung kapan akan terjadi gerhana bulan atau matahari yang bisa disaksikan di Indonesia.
Karena keterbatasan pengetahuan, waktu sekolah saya hanya tahu pertunjukan planetarium dan observatorium dari film saja. Saya tidak tahu kalau di Indonesia juga bisa menyaksikan pertunjukan. Duduk (seperti di bioskop) lalu melihat bintang-bintang sambil mendengar penjelasan. Itu adalah salah satu mimpi saya, insya allah ketika saya diberi kesempatan untuk tinggal di luar negeri, planetarium dan observatorium adalah salah satu tempat yang wajib saya datangi.
Mungkin lain kali setelah mesin selesai diperbaiki saya akan berkunjung lagi untuk menyaksikan pertunjukan :)


Ketika datang ke TIM, ternyata sedang berlangsung pameran karya seni. Langsung saja saya menuju galeri. Ada banyak karya yang menarik, tapi sayangnya saya tidak banyak yang dokumentasikan, jadi gambaran umumnya seperti yang di bawah ini.



Selesai berkeliling di galeri, saya menyaksikan panggung apresiasi puisi. Kebetulan sekali pekan tersebut adalah peringatan hari puisi. Ada beberapa pembacaan puisi oleh para penyair-penyair (yang tidak saya kenal sama sekali). Dengan keterbatasan pengetahuan saya dalam bidang sastra, saya menikmati pertunjukannya.
Entah karena udara yang begitu panas atau memang berhalangan hadir, katanya hari tersebut seharusnya ada sekitar 50 pembaca puisi tapi yang datang hanya sekitar 10-15 orang. Penonton pun tak banyak, padahal acaranya cukup bagus. MC bilang, pada malam hari ada lokalisasi dan musikalisasi puisi juga. Benar saja, sebelum pulang saya sempat mampir dan sedang ada penampilan musikalisasi puisi oleh anak-anak SD, sangat menarik.
 


Akhirnya acara pembukaan JermanFest resmi dimulai. Pemutaran film bisu yang berjudul Metropolis, karya Sutradara Fritz Lang. Film tersebut mengambil setting kota masa depan, dengan topik perbedaan hidup antara masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Penggambaran masyarakat kelas atas dalam menjalankan sebuah kota (metropolis) adalah ibarat otak, masyarakat kelas bawah adalah pekerja yang menjadi tangan atas semua gagasan pengembangan kota tersebut. Keduanya seolah berada di dua sisi yang begitu berbeda, untuk itulah diperlukan "hati" guna sebagai mediator antara keduanya. Dalam film ini "hati" digambarkan oleh sosok Maria.
Sayangnya saya hanya sempat menonton part 1 saja dari film ini, jadi saya belum tahu akhir dari kisah Metropolis tersebut. Film yang sangat menarik. Saya rasa, saya akan menonton kelanjutan film ini di Youtube.


Petualangan hari ini berakhir. Berbeda dengan tadi siang, saya menggunakan jasa bajaj untuk bisa sampai TIM dari Halte Busway Kramat Sentyong-NU, ketika pulang saya memilih jalan kaki menuju halte busway. Tidak terlalu jauh, sekitar 20 menit berjalan kaki, saya pun sampai di halte. Benar-benar hari yang dipenuhi dengan perjalanan.

Oh ya, saya hampir lupa. Masih berada di kawasan TIM, Perpustakaan Daerah DKI Jakarta juga terbuka untuk umum. Senin-Minggu (jam operasionalnya saya lupa). WNI yang tidak punya KTP DKI boleh masuk juga, tapi tidak boleh meminjam buku.