Yohooo... ceritanya, senin kemarin saya dikasih tiket gratis PP Jakarta-Ujung Pandang-Jakarta dari kantor. Bukan tanpa maksud sih, sekalian (katanya) sambil aanwizing lapangan. Cuma begitulah, sebagai wanita, mental free tak bisa dikesampingkan apalagi di kebelakangkan, hehehe... jadilah saya memanfaatkan waktu kosong sebelum terbang kembali ke rimba Jakarta dengan jalan-jalan atau lebih tepatnya foto-foto narsis ala bocah (tabi gak labil).
Tiba di Bandara Hasanudin tengah hari saya disambut oleh sinar matahari yang menyengat luar biasa. Biasanya bulan-bulan ini sudah masuk musim penghujan memang, namun sepertinya alam belum begitu bersahabat untuk menyejukan bumi. Bandaranya cukup bagus dan bersih, namun sayang, kamar mandinya tidak begitu bersih.
Sambil menunggu rekan yang kebetulan akan tiba satu jam kemudian, saya duduk-duduk di sekitaran bandara. Ini kali kedua saya melakukan perjalanan domestik melalui jalur pesawat terbang. Sebelumnya saya pernah berkunjung (atau lebih tepatnya PPL) di Bengkulu. Perjalanan Jakarta-Bengkulu kurang lebih sekitar 1 jam 15 menit, sedangkan Jakarta-Ujung Pandang kurang lebui sekitar 2 jam 15 menit. Saya baru tahu kalau ternyata perjalanan Jakarta-Ujung Pandang lebih jauh dibandingkan Jakarta-Kuala Lumpur (hahaha... maklum, selama ini saya hanya kenal moda transportasi delman dan ojek).
Aanwiziing selesai sekitar jam setengah tujuh malam, saya pun diantar menuju hotel (mungkin karena saya perempuan satu-satunya dalam acara tersebut, rekan-rekan yang lain jadi begitu baik, fufufu... jadi terharu, terima kasih bapak-bapak sekalian, jazakumullah). Dan di kamar inilah saya akan menghabiskan satu malam, sendiri.
Hotel yang saya booking tepat berada di kawasan Pantai Losari, karena itu, setelah selesai mandi dan bersih-bersih saya jalan-jalan di sekitar pantai. Khas daerah pantai, sudah berjejer gerobak-gerobak penjual jagung bakar dan kelapa muda. Tapi karena dari pagi perut saya belum diisi apapun, maka saya memutuskan untuk mencari rumah makan yang menjual nasi. Berhubung saya lagi di Makassar, tidak salah donk jika saya mencicipi Cotto Makassar langsung di tempat aslinya. Rasanya enak, hanya saja, bagi lidah saya yang terbiasa dengan makanan "hambar", bumbu cotto terasa terlalu pekat. Tapi secara umum saya menyukainya. Suasana pantai benar-benar ramai, banyak pasangan muda-mudi, keluarga dan rombongan yang nongkrong di sekitaran pantai.
Meski sendiri, saya tidak merasa bosan, ada dua anak perempuan yang juga kebetulan duduk di samping saya, usianya terpaut lima tahunan dengan saya. Mereka bercerita tentang asal dan alasan mereka datang ke pantai malam itu. Setelah cukup puas menghirup udara malam, saya pulang ke hotel, tapi ketika masuk elevator saya mendapati ada lantai rooftop yang dipakai untuk caffee, maka saya pun menekan tombol menuju lantai tersebut. Ternyata hanya caffee biasa, pengunjungnya mungkin tamu-tamu hotel, menu yang disajikan pun tidak terlalu banyak. Jadilah saya memesan segelas es krim vanilla yang terhitung sangat mahal. Heuheu... segelas es krim harganya lebih mahal dibandingkan seporsi cotto makassar ^^".
Keesokan harinya, setelah sarapan saya duduk-duduk di balkon hotel. Pemandangan dari balkon tersebut benar-benar indah. Saya yang lahir dan tumbuh di kota yang jauh dari pantai, selalu terkesima menatap hamparan air yang berpadu dengan birunya langit. Semilir angin seolah meninabobokan dan membujuk saya untuk kembali tidur di kamar. Maka sebelum saya benar-benar "terpedaya" oleh rasa kantuk, saya segera turun menuju lobby hotel.
Sepuluh menit berjalan ke arah utara, saya sampai di Fort Rotterdam. Benteng yang dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 ini cukup luas, karena keterbatasan waktu, akhirnya saya hanya bisa menjelajahi satu gedung yang difungsikan sebagai museum, Museum Lagaligo.
Selesai berkeliling museum saya naik beca ke arah Pantai Losari (lagi). Berbeda dengan suasana malam hari yang sangat ramai, pagi ini saya hanya bertemu dengan beberapa orang saja. Tentu saja, selain terik matahari yang bisa dengan segera membuat kulit menjadi "begitu eksotis", ini juga hari kerja. Maka perjalanan pun diakhiri dengan foto di bawah ini.
Sebelumnya saya tertawa ketika mendengar cerita rekan saya tentang temannya yang pertama kali berkunjung ke Kota Makassar, rela merem (menyipitkan mata lantaran silau oleh cahaya matahari) demi foto-foto di depan pantai. Begitu saya lihat foto-foto yang saya ambil ternyata memang tidak jauh berbeda. Hahahaha...