Hari senin kemarin saya dikirim ke Kendari dari kantor. Ini pertama kali saya mengunjungi kota ini jadi sedikit banyak saya terkesan. Tiba di bandara saya disambut oleh para penyedia jasa sewa mobil (taksi) yang menawarkan untuk mengantar ke tempat tujuan dengan tarif yang sudah dipatok-saya jadi ingat, ketika saya ke Bengkulu saya juga ditawari penyedia taksi seperti ini. Jujur saja, karena saya datang sendiri saya tidak berani naik taksi non-argo seperti ini, karena biasanya memang kendaraan yang digunakan pun berbeda dengan taksi yang bisa saya lihat di Jakarta. Kendaraan yang dipakai adalah kendaraan-kendaraan pribadi yang jadi lebih mirip mobil rental/sewa. Berputar-putar sejenak di Bandara Haluoleo, saya bertemu dengan rekan dari kontraktor yang tentu saja akan menuju ke arah yang sama. Saya menghembuskan nafas lega, karena itu berarti bahwa saya tidak perlu repot-repot memikirkan bagaimana saya bisa sampai ke tempat tujuan.
Berbeda dengan perjalanan ke Makassar beberapa waktu lalu, di Kendari saya tidak punya kesempatan untuk jalan-jalan. Selesai acara, saya langsung menuju hotel dan bobo cantik. Saya bahkan terlalu malas untuk beranjak dari kamar untuk sekedar mencari makan, padahal perut saya agak perih karena hanya diisi makan siang tanpa sarapan pun T-T.
Pagi hari, selesai sarapan saya menyempatkan jalan-jalan di sekitar hotel, mencari oleh-oleh. Saya jalan kaki sekitar 300 meter dari hotel. Selama jalan-jalan, saya sama sekali tidak berpapasan dengan pejalan kaki lainnya. Wajar memang, saya berjalan jam delapan pagi, orang-orang pasti sudah mulai aktivitas sekolah atau kerja, sehingga tidak ada yang beraktivitas di luar rumah. Beberapa motor yang ternyata adalah ojeg menawarkan tumpangan, sekitar satu jam di luar saya hanya melihat satu buah angkot lewat. Benar-benar bebas dari kata macet, sebuah suasana yang seolah menjadi utopia bagi kota metropolitan seperti Jakarta. Selain jam kerja, panas matahari yang luar biasa menusuk sepertinya juga menjadi pertimbangan orang-orang untuk beraktivitas outdoor. Teriknya sengatan matahari membuat kulit saya semakin eksotik, terbukti dengan belang bekas sandal di kaki saya yang nampak begitu jelas ketika saya kembali ke hotel setelah jalan-jalan tersebut.
Dari hasil percakapan dengan rekan yang saya temui, katanya siang hari di Kendari memang luar biasa panas, dan pada malam hari suhunya akan turun drastis, dingin sekali. Namun sayang, karena tidak keluar malam, saya tidak merasakan sendiri perbedaan suhu tersebut.
Jam sepuluh pagi saya sudah check out dari hotel, karena rencananya saya mau nebeng rekan yang mau ke bandara (lumayan kan, pemangkasan biaya transportasi). Dengan kondisi jalan yang sangat lancar, bahkan lebih lancar dibandingkan dengan jalan tol Purbaleunyi, saya tiba di bandara jam sebelas kurang. Masih satu setengah jam lagi untuk check in penerbangan ke Jakarta.
Duduk di dalam bandara, tiba-tiba lampu di seluruh ruangan padam. Saya agak terkejut dengan kejadian ini, tidak begitu lama lampu pun kembali menyala. Namun hal itu kemudian terulang ketika saya sedang check in. Saya semakin menyadari ketidakmerataan yang ada di Indonesia. Pantaslah saya sering mendengar keluhan-keluhan dari warga di luar Pulau Jawa tentang betapa "pilih kasihnya" pemerintah terhadap warga yang ada di luar pulau.
Dalam penerbangan saya ke Jakarta banyak sekali warga Cina. Sebenarnya ketika perjalanan berangkat Jakarta-Kendari pun saya bersamaan dengan rombongan Cina. Saya tidak begitu mengerti tujuan kedatangan mereka. Ingin sekali bertanya, apakah tujuan mereka untuk berwisata ataukah memang mereka bekerja di Kendari. Namun sayangnya, mereka juga sepertinya pasif berbahasa Inggris sehingga tidak bisa mengobrol dengan leluasa.