Jumat, 25 Mei 2018

Short Episode

(credit image : 米津玄師 Lemon)

Aku bisa melihatnya dari jendela mobil yang sengaja kuturunkan. Dia duduk tepat di samping jendela toko, karena itu aku bisa melihatnya dengan sangat jelas.
Tidak banyak perubahan dari terakhir kali aku melihatnya, itulah kesan yang muncul dalam benakku. 
Kali pertama aku bertemu dengannya adalah dua tahun lalu, tepatnya ketika aku mengambil liburan musim panas dan mengunjungi salah satu negara tropis di Asia Tenggara.
Perkenalan pertama kami adalah melalui sebuah dating online. Aku sangat suka bepergian, karena itu aku suka berteman dengan orang asing. Akhirnya setelah lebih dari setahun berkomunikasi via LINE aku memutuskan mengunjungi kota tempatnya tinggal.
Sebuah kota metropolitan khas negara berkembang. Lalu lintas ibu kotanya akan menjebakmu dalam kemacetan yang luar biasa terutama jika kau bepergian pada jam sibuk. Selama tiga hari disana dia menemaniku mengunjungi beberapa tempat yang cukup terkenal disana.
Kurasa pertemuan kami bernilai lebih baginya.
Dia gadis yang baik, namun dia terlalu bersemangat dan aku merasa perhatiannya membebaniku sehingga kuputuskan untuk memutus semua komunikasi dengannya. Dia masih sering menghubungiku melalu LINE, kartu pos ataupun surat, tapi tak ada satupun yang kubalas. Kupikir semakin aku menanggapiya, semakin sulit menghindar darinya.
Masih sama seperti saat kami bertemu, dia hanya mengoleskan sedikit lip balm di bibirnya dan mungkin seulas bedak. Selebihnya dia tak memakai make up yang mencolok. Meski di negaraku make up merupakan bagian dari etika untuk menunjukan rasa penghargaan terhadap orang yang akan kita temui, bagiku gadis yang tampil tanpa make up pun bukan masalah. Tidak seperti gadis-gadis di negaraku yang begitu tertarik dengan perkembangan fashion, penampilannya sangat sederhana. Hanya jilbab abu-abu bermotif bunga sakura yang membingkai wajah bulatnya yang membuat dia terlihat mencolok diantara semua pengunjung.
***
Tanpa sadar aku sudah berdiri di ambang pintu toko. Kulihat tatapannya tepat mengarah padaku. Menatapku dengan sangat intens. Tatapan yang sama dengan tatapan ketika pertama kali kami bertemu. Tatapan yang selalu membuatku salah tingkah. Ternyata budaya kami memang benar-benar berbeda, disini aku hampir tak pernah mendapatkan tatapan demikian dari seorang gadis karena itulah aku salah tingkah dibuatnya.
Hingga aku berdiri tepat di hadapannya dia masih saja menatapku, dari jarak dekat aku bisa melihat air mata tergenang di pelupuk mata yang terlihat lelah.
Dia segera memalingkan wajah ketika menyadari air mata mulai jatuh di pipinya. Hal ini semakin membuatku salah tingkah. Sebuah rasa bersalah menjalari hatiku. Bagaimanapun, aku memutus semua kontak bukan tanpa tahu perasaannya. Ya, gadis di hadapanku sempat berkata kalau dia menyukaiku. Namun aku tak punya cukup keberanian untuk mengatakan hal yang sama padanya.
"お久しぶりです!お元気ですか?" ujarnya seraya tersenyum. Senyum yang terlalu dipaksakan karena aku masih bisa melihat air mata yang mengembang di sudut matanya.
Aku tersenyum sambil mengambil tempat duduk di hadapannya. Seorang pelayan mendatangi kami dan menyerahkan menu book padaku.
"コーヒー下さい" ujarku dan diapun berlalu.
Kami mulai berbincang. Meski awalnya terasa canggung tapi dia gadis yang cukup pandai mencairkan suasana, sehingga tak butuh waktu lama untuk kami bisa mengobrol dengan santai. Aku sempat ragu untuk bertemu dengannya ketika tiba-tiba dia bilang sedang mengunjungi negaraku. Aku sempat berpikir bahwa dia akan memberiku sederet pertanyaan tentang alasanku menghilang setahun lalu. Tapi untunglah dia tak menyinggung hal itu sama sekali. Mungkin ia tak mau membuat suasana menjadi kaku dan canggung dengan membahas cerita lama.
***
Tiba-tiba dia berdiri dari tempat duduknya. "ちょっとトイレに行きます" ujarnya segera berlalu tanpa menunggu persetujuanku. 
Aku hanya mengangguk dan menatap punggungnya yang semakin menjauhiku.
***
Setengah jam berlalu sejak dia pamit pergi ke toilet. Aku sedikit heran dengan apa yang sedang dilakukannya. Dia sama sekali tak membawa barang ketika pergi. Tas dan barang bawaannya masih ada di hadapanku, jadi tak mungkin dia pergi meninggalkan toko ini begitu saja.
Setelah 40 menit dia masih tak kunjung datang, akhirnya aku memutuskan untuk menyusulnya. Beruntung ada seorang pelayan perempuan yang bisa kumintai tolong memeriksanya di toilet.
Dia bilang ada seseorang yang tergeletak di dalam salah satu bilik toilet. Tanpa ragu akupun segera masuk ke dalam toilet sementara pelayan toko meminta bantuan dari staff lain.
***
Aku kaget melihat kemeja putih yang dikenakannya bersimbah darah.
"どうしたの?" ujarku panik. Wajahnya benar-benar pucat tapi aku masih bisa melihatnya bernafas meski terlihat lemah. Berkali-kali aku memanggil namanya hingga akhirnya sedikit demi sedikit matanya terbuka. Tak butuh waktu lama hingga ambulan datang dan para petugas membawanya masuk. Akupun duduk di samping petugas yang segera memberikan pertolongan pertama.
Aku bisa melihat sebuah bekas luka jahitan yang cukup panjang di dadanya ketika petugas menggunting pakaiannya untuk melihat sumber darah yang mengalir. Sebagian bekas jahitan yang terbuka, itulah yang menyebabkan darah merembes di bajunya. 
Matanya terbuka, tangannya terangkat dan aku segera meraihnya "もう大丈夫だよ" ujarku. Aku tak yakin dengan apa yang kukatakan tapi hanya itu yang keluar dari mulutku. Dia tersenyum, terlihat lebih dipaksakan dari senyum yang sebelumnya kulihat.
"来たくれた、ありがとう" ujarnya pelan. Setitik air mata keluar dari sudut matanya. 
Aku tak bergeming dari tempatku ketika kurasakan genggaman tangannya semakin melemah. Petugas medis masih sibuk mengatasi darah yang masih saja mengalir meski mereka sudah menggunakan kain kasa dan menutupinya. 
Aku pun bisa melihat ketika dokter jaga segera memeriksanya begitu pintu ambulan terbuka. Tapi wajahnya berubah kaku dan meminta petugas lain membawanya ke ruang gawat darurat.
Dokter bilang itu adalah bekas jahitan operasi. Dari jahitannya yang masih terlihat sangat baru, dokter menebak dia baru saja menjalani operasi dua atau tiga hari lalu. Aku tak habis pikir dengannya, bagaimana bisa dia memaksakan diri menempuh perjalanan ke luar negeri dengan kondisi seperti itu. Aku bahkan tak yakin kalau dia mendapat izin untuk bisa keluar rumah sakit secepat itu. 
***
Setelah menjahit ulang bekas operasinya, dokter bilang keadaannya mulai stabil, hanya perlu menunggu hingga dia siuman maka dia sudah benar-benar terlepas dari masa kritis.
***
Kuputuskan untuk pulang karena baju yang kupakai terkena banyak darah ketika tanpa sadar aku memeluknya saat ia tergeletak di toilet tadi. Aku akan kembali ke rumah sakit besok pagi, karena memang malam ini aku masih punya janji untuk bertemu dengan seseorang dan aku akan memgambil cuti dari pekerjaanku esok.
***
Jam masih menunjukan pukul 4 pagi ketika teleponku berdering, ternyata dari rumah sakit. Mereka mengabariku bahwa kondisinya tiba-tiba memburuk. Tanpa menunggu kalimat selanjutnya aku segera mengambil kunci mobil dan pergi menuju rumah sakit. Aku menyetir dengan sangat ngebut sehingga hanya perlu waktu 14 menit untuk sampai di depan pintu ruangan dimana dia dirawat. Ketika aku sampai, hanya ada seorang suster yang sedang merapikan semua peralatan. Kain putih yang sebelumnya dipakai untuk menyelimuti tubuhnya sekarang sempurna menutup seluruh badan hingga ke kepala. Menyadari keberadaanku, suster itu mundur dan memintaku untuk pergi menemui dokter jaga setelah selesai dengan urusanku. 
Aku bahkan tak tahu apa urusanku disini. Jangankan untuk menyambut kedatanganku, gadis itu bahkan tak akan pernah membuka matanya. Butuh beberapa menit hingga aku mampu menggerakan tanganku untuk membuka kain yang menutupi wajahnya. Aku bisa melihat wajah pucatnya dengan sangat jelas. 
Bagaimana bisa aku tak menyadari betapa pucat wajah itu ketika kami bertemu? Bagaimana mungkin aku tak menyadari ekspresinya menahan rasa sakit ketika kami berbincang? Apakah aku terlalu sibuk mengatur perasaanku sehingga aku tak menyadari bahwa mungkin saat itu ada darah mulai merembes melalui bajunya? Bagaimana bisa aku mengabaikannya sedemikian rupa?
***
Hingga saat ini hanya ada satu kalimat yang ingin kusampaikan padanya. Sebuah kalimat yang kuyakin bisa membuatnya melompat girang memelukku, seperti apa yang selalu dia katakan padaku.
"出会ったらただハグしたいです!" tulisnya di semua teks yang dia kirim padaku. Semua teks yang kuabaikan untuk sekian lama.
 "スキだよ!" bisikku pada hembusan angin.

Episode Cirebon

Beberapa minggu lalu saya pergi liburan singkat ke Kota Cirebon, salah satu kota di Jawa Barat. Uniknya, meskipun merupakan salah satu kota yang masuk wilayah administratif Jawa Barat (yang mayoritas penduduknya Suku Sunda), tulisan resmi Keraton Cirebon adalah Aksara Jawa/honocoroko. Saya pergi dengan salah seorang teman saya.
Kami mengambil kereta jam sepuluh lewat pada hari jumat. Dengan pertimbangan untuk menghemat tenaga dan memanfaatkan liburan untuk beristirahat, kami sengaja mengambil kereta malam sehingga kami punya cukup banyak waktu untuk jalan-jalan di hari sabtu.
Rencana awal saya adalah pulang di hari minggu sore, namun mendadak saya ada urusan dan harus pulang ke Jakarta di hari minggu pagi.
Kami tiba di Stasiun Cirebon sekitar pukul 1.30 pagi dan langsung check in di salah satu penginapan yang sudah saya booking beberapa hari sebelumnya. Jaraknya hanya sekitar 1,5 KM dari stasiun, cukup dekat untuk berjalan kaki sebenarnya. Tapi siapa yang mau jalan kaki di pagi buta di kota asing, jadi kami memutuskan untuk memesan taksi online. Sebenarnya ketika booking, harga penginapan kami hanya 150k, karena sedang ada promo. Namun begitu check in, pihak hotel meminta biaya sesuai harga normal dengan alasan kami menginap di akhir pekan. Terlalu lelah untuk berdebat kami pun membayar biaya penginapan sesuai permintaan. Segera setelah mendapatkan kunci, kami menuju kamar, berbenah, mandi dan langsung tidur.
Mungkin karena beberapa waktu ini saya agak jarang melakukan perjalanan jauh, saya lebih suka menghabiskan waktu dengan tiduran di hotel ketika liburan. Keliru memang, tapi bagi saya, liburan adalah saat dimana kita melupakan semua rutinitas dan memberikan suntikan energi setelah semua terkuras habis di hari-hari kerja, jadi tak masalah jika liburan saya hanya diisi dengan acara tidur dan nonton TV di hotel.
Bicara soal liburan tanpa aktivitas, bulan Maret lalu saya sempat pergi liburan ke Kota Gudeg, Jogja. Saya mengambil pesawat pagi dari Soekarno-Hatta, begitu tiba di Bandara Adi Sutjipto, saya langsung menuju ke halte Trans Jogja untuk selanjutnya pergi ke Candi Borobudur. Seperti ada magnet yang menarik saya kesana, selalu tujuan utama saya ketika mengunjungi Jogjakarta adalah Borobudur, padahal jarak Jogja-Borobudur harus ditempuh sekitar 2 jam dengan kendaraan umum. Selesai dengan tugas pokok, saya mencari hotel di sekitar Jalan Malioboro. Hingga keesokan harinya, saya sama sekali tak beranjak dari tempat tidur hotel :D
Well yeah, ketika itu adalah masa dimana saya galau, labil dan emosional. Menikmati rasa "dicampakan", saya hanya makan, nangis, tidur. Sampai keesokan harinya saya harus late check out, saya hanya mengulangi aktivitas yang sama, makan, nangis, tidur. Hahahaha... benar-benar liburan kelabu.
Lupakan soal liburan di Jogja, karena cerita soal Cirebon masih sangat panjang.
Bangun jam delapan pagi dalam kedaan perut keroncongan, dengan sigap kami langsung mandi dan pergi keluar mencari sarapan. Ternyata penginapan kami sangat dekat dengan lokasi Rumah Makan Ibu Nur. Pertama kali saya mendengar nama restoran ini adalah ketika salah seorang klien saya mengajak berkunjung ke Kuningan, dalam perjalanan pulang beliau mengajak saya mengunjungi rumah makan tersebut karena menurutnya itu adalah restoran dengan masakan yang sangat enak. Sayangnya ketika sampai lokasi, rumah makan sedang tutup jadi kami pergi ke rumah makan lain.
Beruntung tanpa sengaja ternyata saya memilih penginapan yang lokasinya sangat dekat dengan rumah makan tersebut, maka saya mengajak teman saya untuk sarapan disana. Kami memilih menu Nasi Empal Gentong, salah satu menu andalannya.

Masakan yang kami pesan benar-benar sesuai dengan lidah saya, dari 1-10 saya berani memberikan nilai 10. Daging yang diolah menjadi empal benar-benar diolah dalam sebuah gentong yang terbuat dari tanah liat. Selain lembut, rempah dan santannya tidak membuat pusing. Begitu menuju kasir, ternyata harganya pun benar-benar tidak bikin kantong bolong. Kalau tidak salah, satu porsi nasi empal gentong lengkap dengan es jeruk adalah sekitar 25 ribu rupiah. Saya lupa berapa harga pastinya, tapi yang pasti, dibandingkan dengan harga makanan di food court ataupun rumah makan di Jakarta sangat jauh berbeda, bukan?

Selesai makan kami langsung menuju ke Keraton Kasepuhan. Letaknya sekita tiga kilo meter dari Rumah Makan Ibu Nur. Sesampainya disana kami berkeliling, mulai dari pendopo di depan alun-alun sampai ke museum dan kediaman sultan. Kompleksnya cukup luas dan banyak pohon rindang yang membuat udara di sekitar menjadi sejuk. Saya pikir, kalau saya tinggal di Cirebon, keraton akan menjadi salah satu tempat favorit saya untuk melamun. Selain sejuk, tempatnya juga bersih.
 

Keuntungan sebuah heritage dikelola oleh pihak swasta adalah pengelolaannya yang lebih baik. Tidak ada sampah, karena hampir di setiap sudut ada petugas kebersihan yang sedang bekerja. Tapi kekurangannya adalah hampir di semua pintu disediakan loket tiket yang berarti anda harus selalu merogoh kocek untuk memasuki tempat-tempat tertentu.
 

Kami masuk ke ruang museum keraton. Tentu saja khas bangunan museum, adem dan penuh dengan berbagai benda bersejarah. Yang menarik perhatian saya adalah lukisan Prabu Siliwangi yang terpasang di salah satu dinding museum. Menurut pemandu yang menemani kami, lukisan tersebut merupan lukisan 3D yang dibuat oleh seniman (maaf saya lupa namanya) melalui proses berpuasa selama beberapa hari.
Bagian paling menarik dari lukisan tersebut adalah mata Prabu Siliwangi yang seolah mengikuti gerak langkah kita. Jika saja saya tidak mendapatkan penjelasan mengenai lukisan 3D tersebut, sudah pasti saya panik lantaran merasa diikuti oleh lirikan sang lukisan :p
 

Puas berkeliling, matahari sudah berada tepat di atas ubun-ubun. Niat kami selanjutnya adalah mengunjungi Keraton Kanoman. Melihat lokasi Keraton Kanoman di peta yang tak begitu jauh dari Keraton Kasepuhan, kami memutuskan berjalan kaki menuju lokasi. Tapi ternyata berjalan kaki di bawah terik panas matahari benar-benar menguras energi. Setengah perjalanan, kami duduk-duduk di trotoar pasar. Lanjut perjalanan, sekitar dua pertiga jalan kami mampir di tempat penjual tahu gejrot. Kita memang bisa menemukan tahu gejrot dimanapun, tapi makan langsung tahu gejrot di tempat asalnya tentu saja terasa istimewa, apalagi dalam keadaan perut yang sudah mulai lapar.
Selesai makan, karena kekenyangan kami memutuskan untuk pulang ke penginapan. Lalu tidur.
Sore hari, bangun tidur lagi-lagi perut lapar, kembali kami ke Rumah Makan Ibu Nur dengan pilihan menu nasi lengko. Tidak jauh berbeda dengan kesan ketika makan nasi empal gentong, selain enak, harganya pun sangat terjangkau. Jadi buat teman-teman yang berkunjung ke Cirebon dan mencari tempat makan, saya cukup berani merekomendasikan ruma makan ini:).
Selesai makan kami kembali ke penginapan, lanjut tidur lalu keluar untuk makan malam. Hahaha... kalau diingat-ingat mungkin 70% dari waktu liburan benar-benar dihabiskan untuk tidur.
Sayangnya karena harus mengambil kereta pagi ke Jakarta, saya tidak sempat mencicipi Nasi Jamblang Ibu Nur yang banyak dibicarakan. Namun dengan demikian, saya punya alasan untuk kembali mengunjungi kota tersebut, bukan?
Untuk yang sedang mencari referensi tempat liburan yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, Anda bisa mempertimbangkan Kota Cirebon. Jika enggan mencari penginapan, anda bisa memilih pulang pergi di hari yang sama karena jarak Jakarta-Cirebon kurang lebih hanya tiga jam perjalanan dengan kereta api. Jika mau puas berkeliling, bisa menginap semalam dan kembali ke Jakarta keesokan harinya.
After all, liburan tak harus selalu pergi jauh, tapi mengunjungi tempat baru, bertemu dengan orang asing dan sedikit berbincang bisa membantu menghilangkan penat. Tapi bukan hal yang buruk juga jika liburan anda hanya diisi dengan acara tidur seharian dan bermalas-malasan di atas kasur.
Selamat menunaikan ibadah puasa dan bersiap menyambut libur panjang :)

Jakarta, May 25th, 2018