Jumat, 25 Mei 2018

Episode Cirebon

Beberapa minggu lalu saya pergi liburan singkat ke Kota Cirebon, salah satu kota di Jawa Barat. Uniknya, meskipun merupakan salah satu kota yang masuk wilayah administratif Jawa Barat (yang mayoritas penduduknya Suku Sunda), tulisan resmi Keraton Cirebon adalah Aksara Jawa/honocoroko. Saya pergi dengan salah seorang teman saya.
Kami mengambil kereta jam sepuluh lewat pada hari jumat. Dengan pertimbangan untuk menghemat tenaga dan memanfaatkan liburan untuk beristirahat, kami sengaja mengambil kereta malam sehingga kami punya cukup banyak waktu untuk jalan-jalan di hari sabtu.
Rencana awal saya adalah pulang di hari minggu sore, namun mendadak saya ada urusan dan harus pulang ke Jakarta di hari minggu pagi.
Kami tiba di Stasiun Cirebon sekitar pukul 1.30 pagi dan langsung check in di salah satu penginapan yang sudah saya booking beberapa hari sebelumnya. Jaraknya hanya sekitar 1,5 KM dari stasiun, cukup dekat untuk berjalan kaki sebenarnya. Tapi siapa yang mau jalan kaki di pagi buta di kota asing, jadi kami memutuskan untuk memesan taksi online. Sebenarnya ketika booking, harga penginapan kami hanya 150k, karena sedang ada promo. Namun begitu check in, pihak hotel meminta biaya sesuai harga normal dengan alasan kami menginap di akhir pekan. Terlalu lelah untuk berdebat kami pun membayar biaya penginapan sesuai permintaan. Segera setelah mendapatkan kunci, kami menuju kamar, berbenah, mandi dan langsung tidur.
Mungkin karena beberapa waktu ini saya agak jarang melakukan perjalanan jauh, saya lebih suka menghabiskan waktu dengan tiduran di hotel ketika liburan. Keliru memang, tapi bagi saya, liburan adalah saat dimana kita melupakan semua rutinitas dan memberikan suntikan energi setelah semua terkuras habis di hari-hari kerja, jadi tak masalah jika liburan saya hanya diisi dengan acara tidur dan nonton TV di hotel.
Bicara soal liburan tanpa aktivitas, bulan Maret lalu saya sempat pergi liburan ke Kota Gudeg, Jogja. Saya mengambil pesawat pagi dari Soekarno-Hatta, begitu tiba di Bandara Adi Sutjipto, saya langsung menuju ke halte Trans Jogja untuk selanjutnya pergi ke Candi Borobudur. Seperti ada magnet yang menarik saya kesana, selalu tujuan utama saya ketika mengunjungi Jogjakarta adalah Borobudur, padahal jarak Jogja-Borobudur harus ditempuh sekitar 2 jam dengan kendaraan umum. Selesai dengan tugas pokok, saya mencari hotel di sekitar Jalan Malioboro. Hingga keesokan harinya, saya sama sekali tak beranjak dari tempat tidur hotel :D
Well yeah, ketika itu adalah masa dimana saya galau, labil dan emosional. Menikmati rasa "dicampakan", saya hanya makan, nangis, tidur. Sampai keesokan harinya saya harus late check out, saya hanya mengulangi aktivitas yang sama, makan, nangis, tidur. Hahahaha... benar-benar liburan kelabu.
Lupakan soal liburan di Jogja, karena cerita soal Cirebon masih sangat panjang.
Bangun jam delapan pagi dalam kedaan perut keroncongan, dengan sigap kami langsung mandi dan pergi keluar mencari sarapan. Ternyata penginapan kami sangat dekat dengan lokasi Rumah Makan Ibu Nur. Pertama kali saya mendengar nama restoran ini adalah ketika salah seorang klien saya mengajak berkunjung ke Kuningan, dalam perjalanan pulang beliau mengajak saya mengunjungi rumah makan tersebut karena menurutnya itu adalah restoran dengan masakan yang sangat enak. Sayangnya ketika sampai lokasi, rumah makan sedang tutup jadi kami pergi ke rumah makan lain.
Beruntung tanpa sengaja ternyata saya memilih penginapan yang lokasinya sangat dekat dengan rumah makan tersebut, maka saya mengajak teman saya untuk sarapan disana. Kami memilih menu Nasi Empal Gentong, salah satu menu andalannya.

Masakan yang kami pesan benar-benar sesuai dengan lidah saya, dari 1-10 saya berani memberikan nilai 10. Daging yang diolah menjadi empal benar-benar diolah dalam sebuah gentong yang terbuat dari tanah liat. Selain lembut, rempah dan santannya tidak membuat pusing. Begitu menuju kasir, ternyata harganya pun benar-benar tidak bikin kantong bolong. Kalau tidak salah, satu porsi nasi empal gentong lengkap dengan es jeruk adalah sekitar 25 ribu rupiah. Saya lupa berapa harga pastinya, tapi yang pasti, dibandingkan dengan harga makanan di food court ataupun rumah makan di Jakarta sangat jauh berbeda, bukan?

Selesai makan kami langsung menuju ke Keraton Kasepuhan. Letaknya sekita tiga kilo meter dari Rumah Makan Ibu Nur. Sesampainya disana kami berkeliling, mulai dari pendopo di depan alun-alun sampai ke museum dan kediaman sultan. Kompleksnya cukup luas dan banyak pohon rindang yang membuat udara di sekitar menjadi sejuk. Saya pikir, kalau saya tinggal di Cirebon, keraton akan menjadi salah satu tempat favorit saya untuk melamun. Selain sejuk, tempatnya juga bersih.
 

Keuntungan sebuah heritage dikelola oleh pihak swasta adalah pengelolaannya yang lebih baik. Tidak ada sampah, karena hampir di setiap sudut ada petugas kebersihan yang sedang bekerja. Tapi kekurangannya adalah hampir di semua pintu disediakan loket tiket yang berarti anda harus selalu merogoh kocek untuk memasuki tempat-tempat tertentu.
 

Kami masuk ke ruang museum keraton. Tentu saja khas bangunan museum, adem dan penuh dengan berbagai benda bersejarah. Yang menarik perhatian saya adalah lukisan Prabu Siliwangi yang terpasang di salah satu dinding museum. Menurut pemandu yang menemani kami, lukisan tersebut merupan lukisan 3D yang dibuat oleh seniman (maaf saya lupa namanya) melalui proses berpuasa selama beberapa hari.
Bagian paling menarik dari lukisan tersebut adalah mata Prabu Siliwangi yang seolah mengikuti gerak langkah kita. Jika saja saya tidak mendapatkan penjelasan mengenai lukisan 3D tersebut, sudah pasti saya panik lantaran merasa diikuti oleh lirikan sang lukisan :p
 

Puas berkeliling, matahari sudah berada tepat di atas ubun-ubun. Niat kami selanjutnya adalah mengunjungi Keraton Kanoman. Melihat lokasi Keraton Kanoman di peta yang tak begitu jauh dari Keraton Kasepuhan, kami memutuskan berjalan kaki menuju lokasi. Tapi ternyata berjalan kaki di bawah terik panas matahari benar-benar menguras energi. Setengah perjalanan, kami duduk-duduk di trotoar pasar. Lanjut perjalanan, sekitar dua pertiga jalan kami mampir di tempat penjual tahu gejrot. Kita memang bisa menemukan tahu gejrot dimanapun, tapi makan langsung tahu gejrot di tempat asalnya tentu saja terasa istimewa, apalagi dalam keadaan perut yang sudah mulai lapar.
Selesai makan, karena kekenyangan kami memutuskan untuk pulang ke penginapan. Lalu tidur.
Sore hari, bangun tidur lagi-lagi perut lapar, kembali kami ke Rumah Makan Ibu Nur dengan pilihan menu nasi lengko. Tidak jauh berbeda dengan kesan ketika makan nasi empal gentong, selain enak, harganya pun sangat terjangkau. Jadi buat teman-teman yang berkunjung ke Cirebon dan mencari tempat makan, saya cukup berani merekomendasikan ruma makan ini:).
Selesai makan kami kembali ke penginapan, lanjut tidur lalu keluar untuk makan malam. Hahaha... kalau diingat-ingat mungkin 70% dari waktu liburan benar-benar dihabiskan untuk tidur.
Sayangnya karena harus mengambil kereta pagi ke Jakarta, saya tidak sempat mencicipi Nasi Jamblang Ibu Nur yang banyak dibicarakan. Namun dengan demikian, saya punya alasan untuk kembali mengunjungi kota tersebut, bukan?
Untuk yang sedang mencari referensi tempat liburan yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, Anda bisa mempertimbangkan Kota Cirebon. Jika enggan mencari penginapan, anda bisa memilih pulang pergi di hari yang sama karena jarak Jakarta-Cirebon kurang lebih hanya tiga jam perjalanan dengan kereta api. Jika mau puas berkeliling, bisa menginap semalam dan kembali ke Jakarta keesokan harinya.
After all, liburan tak harus selalu pergi jauh, tapi mengunjungi tempat baru, bertemu dengan orang asing dan sedikit berbincang bisa membantu menghilangkan penat. Tapi bukan hal yang buruk juga jika liburan anda hanya diisi dengan acara tidur seharian dan bermalas-malasan di atas kasur.
Selamat menunaikan ibadah puasa dan bersiap menyambut libur panjang :)

Jakarta, May 25th, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar