Januari 23th, 2013; 08:15 pm
“aku akan menikah,” ujar gadis itu pelan,
bahkan hampir terdengar seperti sebuah bisikan di telingaku. Mata bulatnya
menatapku. Seperti biasa, senyum selalu terbingkai indah di wajah cantiknya. Bahkan
hingga detik ini, di saat ia mungkin melihatku dengan wajah tanpa
ekspresi setelah mendengar ucapannya.
Januari 23th, 2013; 11:23 am
Handphoneku bergetar pelan, menandakan ada sebuah pesan masuk. Kuhentikan
aktivitas menggambarku dan beralih pada benda kecil berwarna hitam itu, segera
membuka pesan yang baru saja masuk. Sejenak aku termenung melihat nama pengirim
yang terpampang di atas pesan singkat tersebut.
Byeon Da Hye:
“Apa nanti malam kau punya waktu? Ayo
bertemu”
Aku segera membalas pesannya dengan
menyebutkan nama sebuah coffee shop langganan
kami, sebagai tanda persetujuanku untuk bertemu malam ini. Sebuah senyum terkembang
di bibirku, mengingat nanti malam akan bertemu dengan gadis bernama Byeon Da
Hye.
Setelah memperoleh gelar master dan mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan internasional di Jerman, akhirnya bulan lalu dia kembali ke Indonesia. Dengan jadwal kami yang sama-sama padat, kami hanya sempat berkirim kabar lewat telpon ataupun sekedar chat melalui jejaring sosial. Tapi aku masih bisa mengingat dengan baik
pertemuan pertama kami pada kuliah umum pengenalan kampus tujuh tahun silam.
Agustus 29th,2006
“apa kursi ini kosong?” Tanya seorang gadis
menunjuk sebuah kursi kosong yang ada di sampingku. Aku segera mengambil tas
rangsel yang kuletakan di atasnya. “silakan,” jawabku setelah memindahkan tasku
ke bawah. “terima kasih,” ujarnya singkat disertai sebuah senyum di bibirnya.
Kalian percaya dengan istilah love at first sight? Sedetik sebelum ini
aku pun tak pernah mempercayainya. Terlalu konyol untuk jatuh cinta pada orang
yang tak kita kenal sama sekali. Tapi kali ini aku mengalaminya, aku bisa
memastikan bahwa hal itu benar-benar terjadi dalam hidupku. Aku benar-benar
terpesona dengan senyum gadis yang baru saja duduk di sampingku. Wajahnya
terlihat begitu cantik dengan bulu mata lentik yang menghiasi mata bulatnya
yang terlihat bersinar.
***
Kuliah umum ini benar-benar membosankan.
Acaranya benar-benar hanya seputar pengenalan kampus saja. Kulirik gadis
disampingku yang juga mulai menguap beberapa kali.”acaranya membosankan,”
gumannya seolah turut menyetujui pikiranku. “dari jurusan apa?” tanyanya.
“arsitektur, kau sendiri?”tanyaku yang sebenarnya memang sudah penasaran ingin
mengobrol dengannya, tapi terlalu malu untuk memulai percakapan.
Sebuah senyum merekah di bibirnya,
“benarkah? Aku juga dari arsitektur,” serunya dengan tatapan seakan tak percaya.
“Byeon Da Hye, namaku Byeon Da Hye. Sepertinya kita akan menjadi teman sekelas,
panggil saja aku Da Hye,” ujarnya sambil mengulurkan tangan. “Lee Dong Hae,
panggil saja aku Dong Hae,” jawabku sambil menyambut uluran tangannya. Kami pun
mulai mengobrol untuk mengusir kantuk di tengah kuliah umum hingga acara
selesai. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari daerah asal, alasan masuk
jurusan arsitektur sampai pada rencana unit kegiatan mahasiswa apa yang akan
kami masuki nanti.
Yang lucu dari pernyataanya adalah ketika
dia menceritakan awal ketertarikannya pada dunia arsitektur. “aku mulai jatuh
cinta pada arsitektur setelah membaca sebuah novel, aku benar-benar jatuh cinta
pada tokoh utama dalam novel tersebut. Ia adalah seorang arsitek yang memiliki
idealisme tinggi ketika mendesain,” ujarnya polos. Berbeda dengan alasanku yang
memang ingin menjadi seorang arsitek karena aku mengagumi ayahku yang juga
seorang arsitek.
Kami terus berbincang hingga tanpa terasa
acara kuliah umum pun berakhir.
“sampai ketemu di kelas Dong Hae-ya”
ujarnya sambil melambaikan tangan dan berlalu dari hadapanku. Aku membalas
lambaian tangannya dan tersenyum. Tapi senyumku terhenti ketika teringat bahwa
aku lupa untuk meminta nomor handphonenya.
“ah, kau melupakan hal penting Dong Hae,” batinku.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah aku
hanya memikirkan tentang perkuliahan pertama yang baru akan dimulai pada hari
selasa depan. “semoga kita memang akan sekelas Da Hye-ya,” harapku.
September 4th2006
“Lee Dong Hae…” sebuah suara menyambutku
ketika aku baru menginjakan kaki di depan kelas. “sudah kubilang kita pasti
sekelas,” lanjutnya. Kulihat Da Hye yang
berseru menyambut kedatanganku. Hari ini adalah hari pertama perkuliahan dan
kami benar-benar bearada di kelas yang sama. Mungkin hingga kami resmi menjadi
sarjana, kami akan selalu bersama. Terima kasih Tuhan.
October 15th,
2007
“ayo bertemu di coffee shop di ujung jalan itu,” ujar Da Hye di sebrang telepon.
“aku masih
harus bertemu songsaengnim, masih ada yang harus kuasistensikan untuk tugasku,”
jawabku.
“baiklah,
datang setelah selesai asistensi saja,” ujarnya lagi.
Hari ini aku
ada janji dengan dosen mata kuliah struktur. Aku masih harus mengasistensikan
tugasku sebelum pengumpulan tugas dua minggu yang akan datang. Untuk mata
kuliah ini aku dan Da Hye berbeda dosen pembimbing, jadi kami jarang asistensi
bersama.
***
Aku segera melangkahkan kaki menuju ke
dalam coffee shop dimana Da Hye menungguku.
“saengil chukkaeyo…” teriak orang-orang
ramai begitu aku masuk. Ternyata beberapa teman sekelasku ada di sana. Sekilas
kulirik gadis berambut sepinggang yang berada di deretan depan, tangannya
mengulurkan sebuah tart dengan
beberapa lilin di atasnya. Gadis itu, Da
Hye, hanya memamerkan senyum cantiknya seperti biasa.
Suasana dalam coffee shop benar-benar ramai. Selang beberapa menit kedatanganku,
teman-teman yang lain juga berdatangan.
“siapa yang merencanakan ini?”tanyaku pada
Yuri, teman sekelas yang kebetulan duduk di sampingku. “ide awalnya dari Da Hye, tapi Leeteuk sebagai ketua angkatan punya
andil yang sangat besar dalam pelaksanaanya,” jawab Yuri kemudian berlalu
mendekati teman-teman lain yang sedang berkumpul di sudut lain ruangan.
“saengil
chukkae Dong Hae-ya,” ujarnya sambil menyodorkan sebuah kotak terbungkus rapi
lengkap dengan pita berwarna biru. “terima kasih,” jawabku sambil menggaruk
kepala yang tak gatal. Entah mengapa, meski kami sudah saling mengenal sejak
satu tahun lalu, aku masih sering salah tingkah ketika berhadapan gadis itu.
“ayo buka,”
ujarnya lagi.
Aku segera
membuka kado tersebut, isinya adalah sebuah jam pasir yang sangat cantik.
“kenapa jam pasir?” protesku. Beberapa hari yang lalu, ketika dia bertanya
hadiah apa yang kuinginkan untuk ulang tahunku, aku minta CD Ayumi Hamasaki,
penyanyi Jepang favoritku. Tapi lagi-lagi gadis itu hanya tersenyum. “kau
pikirkan saja, untukmu jam pasir lebih cocok,”.
October 15th,
2009
“mungkin ini
tahun terakhir kita merayakan ulang tahunmu sebagai mahasiswa, Dong
Hae-ya,”ujar Da Hye sambil menyerahkan sebuah kado yang juga berpita biru. “apa
isinya masih sama?” tanyaku menyelidik. Betapa tidak, setiap ulang tahunku dia
selalu memberikan hadiah yang sama, sebuah jam pasir. Hanya berbeda bentuk dan
ukuran, intinya tetap sama, yaitu jam pasir.
“buka
saja,”ujarnya sambil cemberut. “atau kau tak mau hadiah dariku?” tambahnya
sambil meraih kado yang ada di tanganku.
“ah aniyo,”
ujarku sambil segera membuka kado yang ada di genggaman tanganku. Dan tentu
saja isinya masih tetap sama, sebuah jam pasir. “ini artinya akan ada tiga buah
jam pasir yang berjejer di kamarku,”ujarku sambil tersenyum ke arahnya.
“apa kau
suka?” tanyanya. Aku mengangguk antusias “apapun yang kau berikan akan kusimpan
dengan baik,” jawabku. “jam pasir itu mewakili perasaanku,” ujarnya. “perasaan?
perasaan apa?” tanyaku penasaran. Sejujurnya, meski kukatakan aku menyukainya
sejak pertama melihatnya, aku tak pernah mengutarakan perasaanku. Selain gadis
yang sangat cantik, Da Hye juga gadis yang pintar. Banyak pria yang
menyukainya. Salah seorang diantaranya adalah Leeteuk. Beberapa bulan lalu, seisi
kelas yang tadinya sibuk dengan tugas studio dibuat kaget dengan penyataan
cintanya yang begitu tiba-tiba. “would
you be my girl?” tanyanya sambil menyerahkan sebuket mawar putih ke tangan
Da Hye. Da Hye yang kebetulan duduk di sampingku sejenak melirikku. Mungkin
wajahku terlihat lebih kaget dibandingkan dengan dirinya sendiri. Aku hanya
mengangkat bahu dan berusaha mengisyaratkan bahwa “semua keputusan ada di
tanganmu,”.
Dan akhirnya
mereka pun resmi berpacaran meski hanya tiga bulan.
August 11th,
2010
Seperti yang
telah kupikirkan sejak pertama kali bertemu gadis bermata bulat itu, kami akan
selalu bersama hingga hari kelulusan. Aku melihatnya mengenakan baju wisuda
lengkap dengan toga yang bertengger di atas kepala, rambutnya rapi bersanggul. Aku
tersenyum menyambut kedatangannya. Tuhan seolah membuat kami seperti dua orang
yang selalu ditakdirkan bersama, kami duduk berdampingan pada hari pertama kami
resmi menjadi mahasiswa, lalu sekarang di upacara kelulusanpun kami masih duduk
berdampingan.
“kita duduk
berdampingan lagi, Dong Hae-ya” ujarnya seperti mengungkapkan apa yang
kupikirkan. Aku menatapnya dan tersenyum menyetujui ucapannya. Kami masih
sempat membicarakan beberapa hal, mengenang kebersamaan yang kami lalui sebelum
upacara wisuda dimulai.
***
Flash. Kedipan cahaya dari kamera polaroid membuatku terkedip seketika. Sebuah foto
kemudian tercetak sempurna. Dae Hye tersenyum sambil mengibas-ngibaskan lembar
foto yang tercetak “ini untukku ya,” ujarnya sambil menyelipkan foto tersebut
kedalam tas kecil yang dibawanya. Tangannya segera meraih pundakku “sekarang
ayo foto bersama” dan seperti sebelumnya. Sebuah foto tercetak, menampilkan
wajah kami berdua yang masih mengenakan baju wisuda. “ini untukmu saja,”
ujarnya menyerahkan foto tersebut. Aku meraih dan segera menyimpannya ke dalam
saku. Beberapa orang teman yang lain menghampiri kami dan saling memberikan
ucapan selamat atas kelulusan masing-masing.
“selamat Dong
Hae-ya,” ujar Da Hye sambil memelukku. Aku tersenyum dan balik memeluknya.
Aku tahu,
mungkin ini adalah kebersamaan kami yang terakhir, karena setelah ini dia
berencana melanjutkan kuliah di luar negeri sedang aku berencana membantu
ayahku di konsultan arsitektur miliknya. Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku
sangat menyukainya, bahkan aku menyukainya sejak pertama melihatnya. “ Da
Hye-ya… “ ujarku pelan, dia melepaskan pelukannya dan mata bulatnya menatapku,
menginsyaratkanku untuk melanjutkan kalimatku. Lama aku terdiam.
“selamat,”
akhirnya hanya satu kata yang keluar dari bibirku. Semua kalimat yang ingin
kusampaikan seolah tercekat dalam kerongkongan. Sama seperti waktu-waktu
sebelumnya, ketika aku ingin mengungkapkan perasaanku, sama seperti ketika aku
ingin menggelengkan kepalaku saat tatapanmu meminta pendapatku ketika Leeteuk
menyatakan cintanya untukmu. Tapi nyatanya tetap tak ada kalimat yang keluar
dari bibirku, aku hanya memendam semuanya dalam hati. Aku terlalu takut jika perasaanku
bertepuk sebelah tangan dan kemudian ketika aku mengungkapkan semua, kau akan
mulai menjauh dan tak lagi berada di sampingku.
February 22th,
2013
Hari ini aku
melihatnya dengan senyum merekah yang selalu terbingkai cantik di wajahnya. Mata bulatnya selalu tampak bersinar. Gaun pengantin putih tanpa lengan itu melekat
indah di badannya. Sejenak ia berdiri tepat di hadapanku, menatap ke arahku lalu tersenyum. Aku segera membalas senyummu yang mungkin akan terlihat canggung dan gugup. Kualihkan pandangan ke arah pria yang juga
melangkah bersamamu. Senyum menghiasi wajahnya, matanya juga tak kalah
memancarkan sinar kebahagiaan.
“selamat,”
akhinya, hanya kata itu yang kembali keluar dari bibirku.
"semoga kebahagiaan selalu menyertai hidumu," doaku untuk pernikahannya.
Fanfiction ini sudah mengendap hampir dua tahun di komputer. Saya bahkan hampir lupa kalau saya pernah menulis cerita ini seandainya saja Sri tidak secara tiba-tiba menanyakan kelanjutan ceritanya. Terinspirasi dari sebuah PV DBSK yang berjudul どうして…君を好きになってしまったんだろう, saya menjadikan Lee Dong Hae (Super Junior) sebagai main cast. Karena sudah lama tertunda saya sendiri sudah luma akhir cerita yang mau saya tulis, jadilah ini cerita lama yang baru menemukan akhirnya hari ini.
Sebagai bonus saya lampirkan link PV tersebut^^.
Plus dua foto Akang Donghae yang saya comot dari google. Hehehe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar