Senin, 11 Agustus 2014

just fanfiction: どうして…君を好きになってしまったんだろう?



Januari 23th, 2013; 08:15 pm
“aku akan menikah,” ujar gadis itu pelan, bahkan hampir terdengar seperti sebuah bisikan di telingaku. Mata bulatnya menatapku. Seperti biasa, senyum selalu terbingkai indah di wajah cantiknya. Bahkan hingga detik ini, di saat ia mungkin melihatku dengan wajah tanpa ekspresi setelah mendengar ucapannya.

Januari 23th, 2013; 11:23 am
Handphoneku bergetar pelan, menandakan ada sebuah pesan masuk. Kuhentikan aktivitas menggambarku dan beralih pada benda kecil berwarna hitam itu, segera membuka pesan yang baru saja masuk. Sejenak aku termenung melihat nama pengirim yang terpampang di atas pesan singkat tersebut.
Byeon Da Hye:
“Apa nanti malam kau punya waktu? Ayo bertemu”
Aku segera membalas pesannya dengan menyebutkan nama sebuah coffee shop langganan kami, sebagai tanda persetujuanku untuk bertemu malam ini. Sebuah senyum terkembang di bibirku, mengingat nanti malam akan bertemu dengan gadis bernama Byeon Da Hye.
Setelah memperoleh gelar master dan mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan internasional di Jerman, akhirnya bulan lalu dia kembali ke Indonesia. Dengan jadwal kami yang sama-sama padat, kami hanya sempat berkirim kabar lewat telpon ataupun sekedar chat melalui jejaring sosial. Tapi aku masih bisa mengingat dengan baik pertemuan pertama kami pada kuliah umum pengenalan kampus tujuh tahun silam.
 
Agustus 29th,2006
“apa kursi ini kosong?” Tanya seorang gadis menunjuk sebuah kursi kosong yang ada di sampingku. Aku segera mengambil tas rangsel yang kuletakan di atasnya. “silakan,” jawabku setelah memindahkan tasku ke bawah. “terima kasih,” ujarnya singkat disertai sebuah senyum di bibirnya.
Kalian percaya dengan istilah love at first sight? Sedetik sebelum ini aku pun tak pernah mempercayainya. Terlalu konyol untuk jatuh cinta pada orang yang tak kita kenal sama sekali. Tapi kali ini aku mengalaminya, aku bisa memastikan bahwa hal itu benar-benar terjadi dalam hidupku. Aku benar-benar terpesona dengan senyum gadis yang baru saja duduk di sampingku. Wajahnya terlihat begitu cantik dengan bulu mata lentik yang menghiasi mata bulatnya yang terlihat bersinar.
***
Kuliah umum ini benar-benar membosankan. Acaranya benar-benar hanya seputar pengenalan kampus saja. Kulirik gadis disampingku yang juga mulai menguap beberapa kali.”acaranya membosankan,” gumannya seolah turut menyetujui pikiranku. “dari jurusan apa?” tanyanya. “arsitektur, kau sendiri?”tanyaku yang sebenarnya memang sudah penasaran ingin mengobrol dengannya, tapi terlalu malu untuk memulai percakapan.
Sebuah senyum merekah di bibirnya, “benarkah? Aku juga dari arsitektur,” serunya dengan tatapan seakan tak percaya. “Byeon Da Hye, namaku Byeon Da Hye. Sepertinya kita akan menjadi teman sekelas, panggil saja aku Da Hye,” ujarnya sambil mengulurkan tangan. “Lee Dong Hae, panggil saja aku Dong Hae,” jawabku sambil menyambut uluran tangannya. Kami pun mulai mengobrol untuk mengusir kantuk di tengah kuliah umum hingga acara selesai. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari daerah asal, alasan masuk jurusan arsitektur sampai pada rencana unit kegiatan mahasiswa apa yang akan kami masuki nanti.
Yang lucu dari pernyataanya adalah ketika dia menceritakan awal ketertarikannya pada dunia arsitektur. “aku mulai jatuh cinta pada arsitektur setelah membaca sebuah novel, aku benar-benar jatuh cinta pada tokoh utama dalam novel tersebut. Ia adalah seorang arsitek yang memiliki idealisme tinggi ketika mendesain,” ujarnya polos. Berbeda dengan alasanku yang memang ingin menjadi seorang arsitek karena aku mengagumi ayahku yang juga seorang arsitek.
Kami terus berbincang hingga tanpa terasa acara kuliah umum pun berakhir.
“sampai ketemu di kelas Dong Hae-ya” ujarnya sambil melambaikan tangan dan berlalu dari hadapanku. Aku membalas lambaian tangannya dan tersenyum. Tapi senyumku terhenti ketika teringat bahwa aku lupa untuk meminta nomor handphonenya. “ah, kau melupakan hal penting Dong Hae,” batinku.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah aku hanya memikirkan tentang perkuliahan pertama yang baru akan dimulai pada hari selasa depan. “semoga kita memang akan sekelas Da Hye-ya,” harapku.

September 4th2006
“Lee Dong Hae…” sebuah suara menyambutku ketika aku baru menginjakan kaki di depan kelas. “sudah kubilang kita pasti sekelas,” lanjutnya. Kulihat Da Hye yang berseru menyambut kedatanganku. Hari ini adalah hari pertama perkuliahan dan kami benar-benar bearada di kelas yang sama. Mungkin hingga kami resmi menjadi sarjana, kami akan selalu bersama. Terima kasih Tuhan.

October 15th, 2007
“ayo bertemu di coffee shop di ujung jalan itu,” ujar Da Hye di sebrang telepon.
“aku masih harus bertemu songsaengnim, masih ada yang harus kuasistensikan untuk tugasku,” jawabku.
“baiklah, datang setelah selesai asistensi saja,” ujarnya lagi.
Hari ini aku ada janji dengan dosen mata kuliah struktur. Aku masih harus mengasistensikan tugasku sebelum pengumpulan tugas dua minggu yang akan datang. Untuk mata kuliah ini aku dan Da Hye berbeda dosen pembimbing, jadi kami jarang asistensi bersama.
***
Aku segera melangkahkan kaki menuju ke dalam coffee shop dimana Da Hye menungguku.
“saengil chukkaeyo…” teriak orang-orang ramai begitu aku masuk. Ternyata beberapa teman sekelasku ada di sana. Sekilas kulirik gadis berambut sepinggang yang berada di deretan depan, tangannya mengulurkan sebuah tart dengan beberapa lilin di atasnya. Gadis itu, Da Hye, hanya memamerkan senyum cantiknya seperti biasa.
Suasana dalam coffee shop benar-benar ramai. Selang beberapa menit kedatanganku, teman-teman yang lain juga berdatangan.
“siapa yang merencanakan ini?”tanyaku pada Yuri, teman sekelas yang kebetulan duduk di sampingku. “ide awalnya dari Da Hye, tapi Leeteuk sebagai ketua angkatan punya andil yang sangat besar dalam pelaksanaanya,” jawab Yuri kemudian berlalu mendekati teman-teman lain yang sedang berkumpul di sudut lain ruangan.
“saengil chukkae Dong Hae-ya,” ujarnya sambil menyodorkan sebuah kotak terbungkus rapi lengkap dengan pita berwarna biru. “terima kasih,” jawabku sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Entah mengapa, meski kami sudah saling mengenal sejak satu tahun lalu, aku masih sering salah tingkah ketika berhadapan gadis itu.
“ayo buka,” ujarnya lagi.
Aku segera membuka kado tersebut, isinya adalah sebuah jam pasir yang sangat cantik. “kenapa jam pasir?” protesku. Beberapa hari yang lalu, ketika dia bertanya hadiah apa yang kuinginkan untuk ulang tahunku, aku minta CD Ayumi Hamasaki, penyanyi Jepang favoritku. Tapi lagi-lagi gadis itu hanya tersenyum. “kau pikirkan saja, untukmu jam pasir lebih cocok,”.

October 15th, 2009
“mungkin ini tahun terakhir kita merayakan ulang tahunmu sebagai mahasiswa, Dong Hae-ya,”ujar Da Hye sambil menyerahkan sebuah kado yang juga berpita biru. “apa isinya masih sama?” tanyaku menyelidik. Betapa tidak, setiap ulang tahunku dia selalu memberikan hadiah yang sama, sebuah jam pasir. Hanya berbeda bentuk dan ukuran, intinya tetap sama, yaitu jam pasir.
“buka saja,”ujarnya sambil cemberut. “atau kau tak mau hadiah dariku?” tambahnya sambil meraih kado yang ada di tanganku.
“ah aniyo,” ujarku sambil segera membuka kado yang ada di genggaman tanganku. Dan tentu saja isinya masih tetap sama, sebuah jam pasir. “ini artinya akan ada tiga buah jam pasir yang berjejer di kamarku,”ujarku sambil tersenyum ke arahnya.
“apa kau suka?” tanyanya. Aku mengangguk antusias “apapun yang kau berikan akan kusimpan dengan baik,” jawabku. “jam pasir itu mewakili perasaanku,” ujarnya. “perasaan? perasaan apa?” tanyaku penasaran. Sejujurnya, meski kukatakan aku menyukainya sejak pertama melihatnya, aku tak pernah mengutarakan perasaanku. Selain gadis yang sangat cantik, Da Hye juga gadis yang pintar. Banyak pria yang menyukainya. Salah seorang diantaranya adalah Leeteuk. Beberapa bulan lalu, seisi kelas yang tadinya sibuk dengan tugas studio dibuat kaget dengan penyataan cintanya yang begitu tiba-tiba. “would you be my girl?” tanyanya sambil menyerahkan sebuket mawar putih ke tangan Da Hye. Da Hye yang kebetulan duduk di sampingku sejenak melirikku. Mungkin wajahku terlihat lebih kaget dibandingkan dengan dirinya sendiri. Aku hanya mengangkat bahu dan berusaha mengisyaratkan bahwa “semua keputusan ada di tanganmu,”.
Dan akhirnya mereka pun resmi berpacaran meski hanya tiga bulan.

August 11th, 2010
Seperti yang telah kupikirkan sejak pertama kali bertemu gadis bermata bulat itu, kami akan selalu bersama hingga hari kelulusan. Aku melihatnya mengenakan baju wisuda lengkap dengan toga yang bertengger di atas kepala, rambutnya rapi bersanggul. Aku tersenyum menyambut kedatangannya. Tuhan seolah membuat kami seperti dua orang yang selalu ditakdirkan bersama, kami duduk berdampingan pada hari pertama kami resmi menjadi mahasiswa, lalu sekarang di upacara kelulusanpun kami masih duduk berdampingan.
“kita duduk berdampingan lagi, Dong Hae-ya” ujarnya seperti mengungkapkan apa yang kupikirkan. Aku menatapnya dan tersenyum menyetujui ucapannya. Kami masih sempat membicarakan beberapa hal, mengenang kebersamaan yang kami lalui sebelum upacara wisuda dimulai.
***
Flash. Kedipan cahaya dari kamera polaroid membuatku terkedip seketika. Sebuah foto kemudian tercetak sempurna. Dae Hye tersenyum sambil mengibas-ngibaskan lembar foto yang tercetak “ini untukku ya,” ujarnya sambil menyelipkan foto tersebut kedalam tas kecil yang dibawanya. Tangannya segera meraih pundakku “sekarang ayo foto bersama” dan seperti sebelumnya. Sebuah foto tercetak, menampilkan wajah kami berdua yang masih mengenakan baju wisuda. “ini untukmu saja,” ujarnya menyerahkan foto tersebut. Aku meraih dan segera menyimpannya ke dalam saku. Beberapa orang teman yang lain menghampiri kami dan saling memberikan ucapan selamat atas kelulusan masing-masing.
“selamat Dong Hae-ya,” ujar Da Hye sambil memelukku. Aku tersenyum dan balik memeluknya.
Aku tahu, mungkin ini adalah kebersamaan kami yang terakhir, karena setelah ini dia berencana melanjutkan kuliah di luar negeri sedang aku berencana membantu ayahku di konsultan arsitektur miliknya. Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku sangat menyukainya, bahkan aku menyukainya sejak pertama melihatnya. “ Da Hye-ya… “ ujarku pelan, dia melepaskan pelukannya dan mata bulatnya menatapku, menginsyaratkanku untuk melanjutkan kalimatku. Lama aku terdiam.
“selamat,” akhirnya hanya satu kata yang keluar dari bibirku. Semua kalimat yang ingin kusampaikan seolah tercekat dalam kerongkongan. Sama seperti waktu-waktu sebelumnya, ketika aku ingin mengungkapkan perasaanku, sama seperti ketika aku ingin menggelengkan kepalaku saat tatapanmu meminta pendapatku ketika Leeteuk menyatakan cintanya untukmu. Tapi nyatanya tetap tak ada kalimat yang keluar dari bibirku, aku hanya memendam semuanya dalam hati. Aku terlalu takut jika perasaanku bertepuk sebelah tangan dan kemudian ketika aku mengungkapkan semua, kau akan mulai menjauh dan tak lagi berada di sampingku.

February 22th, 2013
Hari ini aku melihatnya dengan senyum merekah yang selalu terbingkai cantik di wajahnya. Mata bulatnya selalu tampak bersinar. Gaun pengantin putih tanpa lengan itu melekat indah di badannya. Sejenak ia berdiri tepat di hadapanku, menatap ke arahku lalu tersenyum. Aku segera membalas senyummu yang mungkin akan terlihat canggung dan gugup. Kualihkan pandangan ke arah pria yang juga melangkah bersamamu. Senyum menghiasi wajahnya, matanya juga tak kalah memancarkan sinar kebahagiaan.
“selamat,” akhinya, hanya kata itu yang kembali keluar dari bibirku. 
"semoga kebahagiaan selalu menyertai hidumu," doaku untuk pernikahannya.


Fanfiction ini sudah mengendap hampir dua tahun di komputer. Saya bahkan hampir lupa kalau saya pernah menulis cerita ini seandainya saja Sri tidak secara tiba-tiba menanyakan kelanjutan ceritanya. Terinspirasi dari sebuah PV DBSK yang berjudul どうして…君を好きになってしまったんだろう, saya menjadikan Lee Dong Hae (Super Junior) sebagai main cast.  Karena sudah lama tertunda saya sendiri sudah luma akhir cerita yang mau saya tulis, jadilah ini cerita lama yang baru menemukan akhirnya hari ini.
Sebagai bonus saya lampirkan link PV tersebut^^.


Plus dua foto Akang Donghae yang saya comot dari google. Hehehe...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar