It's been so long that I write here. Sarang laba-laba dimana-mana, alamak berdebu sekali blogku ini. Saya harus pastikan bahwa tak ada siapapun kecuali saya yang menguhi blog ini (wkwkwk... parnoan-efek kebanyakan nonton cerita horror).
As the title, saya akan menceritakan tentang perjalanan pertama saya ke Tokyo. Ah~~~ Finally, Tokyo! Dream comes true.
Rencana perjalanan saya ke Tokyo ini sudah saya rencanakan jauh-jauh hari. Saya beli tiket sejak bulan Januari 2018 kalau tak salah. Bukan tanpa maksud, tanggal 6 Oktober 2018 ini benar-benar tanggal istimewa. Kenapa? Karena tanggal 6 ini adalah hari sabtu dan bertepatan dengan tanggal lahir si mas, yang tak perlu disebut namanya.
Jadi, awal tujuan saya ke Tokyo tak lain dan tak bukan karena saya bermaksud memberikan sedikit kejutan di hari lahirnya, tapi ternyata saya sudah dikejutkan lebih dulu dengan undangan pernikahannya (hahaha... tertawa miris menyadari perjalanan yang akan terasa menyedihkan).
Yasudahlah, tiket terlanjur dipesan.
Meski sempat ragu, akhirnya saya memesan hotel untuk tinggal. Saya memilih Yanagibashi Hotel. Lokasinya berjarak sekitar 300 meter dari Asakusabashi Station dan berjarak hanya sekitar 2 km dari Kuil Sensoji dan Tokyo Skytree.
Baiklah, cerita hari pertama dimulai.
Saya tidak pergi sendiri, saya pergi bersama seorang teman dan bayi 2 tahunnya. Kami bertiga tiba di Bandara Haneda tepat pukul 9 pagi. Ketika berjalan mencari halte bus untuk membeli tiket tujuan Shibuya, tanpa sengaja kami menemukan shower room tanpa banyak argumen kami langsung masuk. Harganya ¥1.030 atau sekitar Rp. 150.000,-/30 menit. Bagi orang Indonesia seperti saya yang biasanya ke toilet dengan cuma bayar dua ribu rupiah, tentu saja harga ini cukup bikin ngelus dada. Tapi tentu saja fasilitas sebanding dengan harga. Kamar mandinya bersih sangat, saya kira fasilitasnya setara dengan kamar mandi hotel bintang 3 di Indonesia. Jadi saya tidak kecewa membayar cukup mahal untuk ini.
Kalau pembaca sekalian kebetulan tiba di Bandara Haneda dan berniat mandi dulu sebelum melancong kesana-kemari, bisa coba fasilitas shower room ini. Saya lupa mengambil foto, tapi ruangannya tepat di sebelah kanan sebelum pintu keluar imigrasi.
Setelah kurang lebih 1 jam mengendarai limousine bus, kami tiba di Shibuya.
Dari dulu saya tidak begitu suka tempat yang ramai, selain karena sering membuat saya disorientasi, biasanya saya berkeringat dingin dan mual. Endeso.
Setelah berputar-putar mencari coin locker dan tak berhasil menemukannya, saya menemui teman saya di Hachiko Statue. Sebelumnya saya tidak pernah mencari tahu lokasi monumen ini, saya kira lokasinya sangat jauh dan terpencil. Sampai satu waktu tiba-tiba saya mendapat kiriman foto dari si mas (T-T) ketika dia kebetulan sedang berkunjung kesana. Jadilah Hachiko Statue menjadi salah satu destinasi yang masuk daftar perjalanan saya karena saya memang mendapat banyak informasi tentang objek-objek yang sangat menarik.
Setelah bertemu Shunichi (nama teman yang hendak saya temui di Shibuya), kami berkeliling mencari locker coin untuk menyimpan koper yang masya allah... ketika lapar bebannya terasa jadi 2x lipat dari berat aslinya.
Makanan pertama yang saya makan ketika tiba di Tokyo adalah sup jamur. Hahahaha... Agak lucu rasanya, menempuh 8 jam perjalanan tapi makan makanan pertama yang saya makan adalah barat. Ini akibat perut yang sudah tak bisa diajak kompromi dan tak lagi menemukan restoran tanpa daging.
Setelah kenyang, kami langsung menuju stasiun dan pergi menuju Ohmiya Hacimangu. Karena saya memang tidak berniat mengunjungi tempat wisata, dari jauh-jauh hari saya minta Shunichi untuk membawa saya ke kuil yang "tidak tertenal". Sejak pertama kali menginjakan kaki di Jepang 3 tahun lalu, saya jatuh cinta pada desain kuil, entah itu Kuil Budha maupun Kuil Shinto. Saya tidak pernah merasa kecewa ketika tersesat di jalan lalu menemukan sebuah kuil luas yang seolah memang sudah berniat menyambut kedatangan saya (hiperbola mode akut).
Dan perjalanan pertama saya dimulai dari kuil Ohmiya Hachimangu.
Kuil Shinto ini terletak di Suginami-ku. Katanya dari rumah Shunichi hanya perlu jalan kaki, tapi karena kami saya meminjam kartu Shunichi untuk memakai coin locker, dia harus mengantar saya ke Shibuya lagi.
Menurut mbah google, setiap tanggal 15 ada festival di kuil ini. Mungkin lain kali saya ingin berkunjung ketika ada festival disana.
Saya benar-benar menyukai suasana di sekitar kuil. Karena datang menjelang musim semi, saya bisa mencium wangi pohon di sekitar kuil. Kalau tidak ingat saya masih punya janji untuk bertemu teman di Sensoji, saya yakin kalau saya akan meminta Shunichi menemani saya hanya untuk duduk dan mengobrol di pelataran kuil yang begitu sejuk ini. Saking terlalu menikmati suasana kuil, saya hampir lupa untuk mengambil foto bangunan utama.
Yang menarik dari kuil ini adalah saya banyak menemukan banyak jimat untuk permohonan anak. Baik itu yang ingin punya anak maupun jimat untuk kebaikan anak-anak yang sudah lahir. Karena saya belum punya anak, belum pun punya calon bapak buat anak saya kelak, saya memilih jimat yang bersifat umum, omikuji. Biasanya omikuji ditulis langsung ketika kita meminta, tapi disana kita hanya perlu mengambil omikuji yang sudah ada di dalam toples, seperti undian. Saya beruntung, omikuji saya bilang saya orang yang memilki peruntungan besar. Hahaha... karena isinya memotivasi, jadi saya tidak perlu menggantungnya di kuil.
Setelah berpisah dengan Shunichi di Shibuya, saya naik kereta menuju Sensoji yang letaknya tak jauh dari Stasiun Asakusa.
Ini adalah kali pertama saya naik kereta sendirian di Jepang. Antusias dan takut nyasar menyelimuti perasaan saya.
Suasana di dalam gerbong tidak jauh berbeda dengan suasa dalam KRL JABODETABEK, karena memang tipikal:)
Saya tiba di Asakusa tanpa masalah tapi kemudian saya kebingungan dengan rute menujj Sensoji (^_^;)
Tomoya-teman yang hendak saya temui sudah lebih dulu tiba di Sensoji lantaran saya terlambat datang. Jadi mau tak mau saya harus ke Sensoji sendiri. Berbekal navigasi google maps, akhirnya saya bisa tiba di Sensoji. Yoohoo~~~
Yang lucu adalah kami tidak bertemu di gerbang utama, melainkan di pelataran utama kuil. Hahaha... Ternyata saya melewatkan gerbang utama dan masuk melalui jalan samping.
Kuil ini sangat luas. Sama seperti di Ohmiya Hacimangu, saya juga ikut antrian untuk berdoa di altarnya. Menurut Tomoya, ¥5 adalah koin pembawa hoki. Di pertemuan pertama kami pun dia menghadiahi 2 keping ¥5. Dia bilang, pelafalan ¥5 (goen) mirip dengan kanji yang memiliki arti "pertemuan yang baik" sehingga kami sepakat untuk menggunakan ¥5 untuk berdoa.
Tomoya adalah teman yang saya kenal ketika sedang jalan-jalan di Borobudur hampir 2 tahun lalu. Dia anak yang sangat ceria. Bertemu dengannya selalu membuat saya makin banyak bicara. Berbeda dengan beberapa teman Jepang saya yang lain, saya bisa tertawa tanpa khawatir dibilang tidak sopan di depannya. Karena diapun terkadang tanpa sungkan menertawakan kekonyolan yang saya lakukan.
Setelah selesai makan mie dingin, kami berpisah di Stasiun Asakusa. Kami berjanji untuk melakukan double date pada pertemuan selanjutnya yang entah kapan:)
Karena terlalu sibuk mengobrol dengan Tomoya, saya hampir lupa untuk mengbil foto Sensoji. Hahaha... Dalam hati saya berjanji bahwa esok saya harus datang lagi kemari hanya untuk mengambil foto sebanyak mungkin.
Oh ya saya hampir lupa, karena jarak yang cukup dekat, kita bisa melihat Tokyo Skytree dari pelataran Sensoji. Foto-foto yang saya unggah bukanlah foto kunjungan pertama, melainkan kunjungan di malam berikutnya.
Perjalanan hari pertama pun berakhir di jam 9 malam waktu Tokyo. Kepala saya sudah mengantuk luar biasa, karena saya hampir selalu tidur sebelum jam 10 waktu indonesia. Sampai jumpa di perjalanan hari kedua (^0^)/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar