Kamis, 25 Oktober 2018

Tokyo Day 3


When  you're not with me, these days are boring
Wish it were easy like Sunday morning

When I'd be waking up with you
Only doing those things we wanna do
My heart is anywhere you go
When I'm next to you I'm home

-One  Ticket : One Ok Rock-

Pagi ini saya sudah mengisi bak mandi saya penuh. Sejak jam 9 pagi saya sudah keluar masuk kamar mandi, memeriksa suhu air untuk saya berendam. Tepat jam 09.15 saya nyebur dan mulai menikmati air hangat yang merendam hampir seluruh badan saya. Hingga kemudian saya tersadar bahwa saya mendengar suara dari arah kamar. Saya membuka tirai bak mandi, beralih ke pegangan pintu dan menemukan sesosok anak kecil duduk manis lalu tertawa menyambut kepala saya yang melongok dari dalam kamar mandi. Hahaha... Arkana (anak teman seperjalanan saya) sudah siap rupanya. Kasihan meninggalkannya sendiri di kamar, saya pun akhirnya menyudahi acara berendam. Padahal saya baru setengah jam berendam.
Sekitar setengah 11 teman saya dan anaknya pergi, mereka menuju Tokyo University. Meski jadwal ulang tetap saya tak mau acara "kencan" saya terganggu. Kami hanya bisa bertemu hari ini, maka saya dengan egois meminta untuk tidak diganggu.
Pertama kali saya mengenalnya adalah beberapa bulan lalu, ketika daya merasa benar-benar di bawah akibat undangan dari si mas yang datang tiba-tiba tanpa hujan, tanpa angin. Ketika mengenal si mas yang tak perlu kita sebut namanya, selain merasakan indahnya melambung katika jatuh cinta, saya juga diajarkan untuk merasakan sakitnya ketika jatuh, patah hati. Anyway, thanks for your lesson, it's means so much for me. Balik lagi, awal perkenalan kami adalah ketika saya mulai rajin berselancar di dunia maya guna mencari teman untuk sekedar bicara. Saya tak bisa berbagi cerita pada teman-teman saya karena saya tahu semua kekonyolan patah hati saya akibat khayalan saya yang terlalu tinggi. Saya perlu teman bicara tanpa perlu mendengar nasihat dan wejangan. Saya hanya perlu bicara dan itulah yang saya lakukan.
Di perkenalan pertama kami, saya menceritakan semua kekesalan, kekecewaan dan penyesalan saya pada orang yang akan saya temui hari ini. Belajar dari pengalaman tentang merasa terbuang, saya tidak pernah berharap bahwa orang itu akan datang menemui saja. Terlebih dengan semua kekurangan yang saya tunjukan di hadapannya.
Terkadang kami melakukan video call. Saya dengan santainya memperlihatkan wajah polos tanpa make up yang mungkin sangat tak menarik, meskipun pada kenyataannya saya memang jarang memakai make up. Tidak ada perbedaan antara dengan atau tanpa make up.
Selisih usia kami cukup jauh tapi sama sekali bukan masalah bagiku. Ketika bilang "恋人になっていいですか" saya hanya mengiyakan tanpa banyak berpikir. Saya sudah membayangkan menangis kehujanan di depan stasiun hanya untuk menunggu orang yang belum tentu akan datang, maka jika saya ternyata memang harus mengalaminya, maka itu akan menjadi bagian dari mimpi (buruk) yang jadi nyata.
Mungkin karena faktor usia juga, sejak awal dia lebih sering mendengarkan dibanding bercerita tentang kehidupannya. Sempat satu waktu saya dibuat kesal karena ketika saya bercerita dia hanya menggunakan 3 kata sebagai jawaban : ya, tidak, dan begitu. Saking kesalnya saya bilang bahwa dia adalah orang terakhir yang akan saya mintai tolong ketika saya mengalami kesulitan di Tokyo. Nyatanya dia menjadi orang pertama yang saya kabari ketika saya tiba, dia menjadi orang pertama yang saya mintai saran tentang apa yang harus saya lakukan dan kemana saya harus pergi. Dia jadi orang pertama yang saya ingin mintai tolong ketika saya tersesat dalam perjalanan menuju bandara, untungnya paket internet saya habis jadi tak bisa menghubunginya (^_^;).
Seingat saya, saya bukan tipikal orang yang bergantung pada orang lain. Saya melakukan segala sesuatu sendiri dan saya menikmatinya. Dan dia adalah orang pertama yang membuat saya ketergantungan ($_$).
Dengan segala pengetahuan yang saya miliki tentangnya saya tak berhak memberikan penilaian untuknya, jadi kali ini pun saya hanya akan menceritakan sisi subjektif yang saya miliki.
1日デートkami dimulai dari berjalan keluar dari hotel menuju Tokyo Tower. Karena hari masih siang, saya minta ditemani untuk pergi ke 21_21 Design Sight.


Design Sight merupakan salah satu karya arsitek terkenal, Tadao Ando. Gedung ini merupakan sebuah galeri seni, ketika kami berkunjungpun sedang ada pertunjukan. Yang menjadi ciri khas dari bangunan Tadao Ando adalah beton ekspos tanpa finishing. Sehingga warna dasar dari bangunan adalah abu-abu.



Puas berkeliling kami lanjutkan perjalanan menuju Tokyo Tower. Jalan yang kami lewati benar-benar menyenangkan. Ada satu padang rumput terbuka yang diduduki orang-orang. Hari ini memang cuaca tidak terlalu dingin tapi juga tidak sepanas kemarin sehingga sangat nyaman untuk bersantai di luar ruangan.

Ketika sedang melewati sebuah jembatan, tiba-tiba sudut matanya menunjuk sebuah arah yang tak lain adalah menara yang hendak kami datangi. Tanpa ragu saya memintanya untuk jalan kaki kesana. Ketika melihat google maps, jarak kami sekitar 2 km. Dengan sombongnya saya minta supaya kami jalan kaki saja, tidak perlu naik kereta. Saran saya ditanggapi dengan tatapan tak percayanya. Guna menghindari konflik, dia hanya pasrah mengikuti kemauan saya. 
Di pertengahan jalan saya mengap-mengap karena capai. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa orang jepang berjalan kaki dengan sangat cepat meski dia berkali-kali berhenti untuk menunggu langkah kaki saya yang begitu lambat.
Saya bukan orang yang bisa berjalan cepat. Saya selalu menoleh ke kanan dan kekiri ketika berjalan kaki. Ketika saya masih kecil, selain menoleh ke kanan dan ke kiri, saya juga sering loncat-loncat tidak jelas. Saya sering membayangkan ada tanggul yang harus saya lompati ketika jalan, Karena itulah saya selalu berjalan di belakang. Meskipun setelah dewasa saya tak lagi berkhayal akan tanggul-tanggul yang harus saya lewati, saya masih mengengok sisi kanan dan kiri ketika berjalan. Saya akan berhenti cukup lama ketika menemukan hal yang menarik perhatian.
Sedikit merasa bersalah saya sering berlari kecil untuk menyejajari langkahnya. Tapi tetap saja sering tertinggal.
Setelah perjalanan panjang, akhirnya kami tiba di Tokyo Tower. Untuk bisa naik ke atas menara kami harus membayar ¥900 perorang dan sampailah kami di pertengahan. Sengaja kami tak naik sampai ke puncak, karena harga tiketnya mahal. Lagi pula saya juga tidak membayangkan untuk naik hingga ke atap. Romansa yang saya bayangkan hanya berjalan berdampingan dengan Tokyo Tower sebagai latar. Hahaha...

Setelah mengantar saya kembali ke Stasiun Asakusabashi, 1日デート kami pun berakhir. Tentu saja saya tak pernah berharap sebuah hubungan akan berakhir hanya dalam satu waktu. Saya menyukainya dan saya berharap saya bisa menemuinya lagi. Meski jauh di dalam lubuk hati saya berjanji untuk tak berharap banyak.
Perjalanan hari ini ditutup oleh sepanci sup panas ketika kami menikmati makan malam. Saya menikmati sashimi porsi kecil yang harganya tak kecil (^_^;)
Hari yang paling saya nantikan pun akhirnya berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar