Kamis, 25 Oktober 2018

Tokyo Day 3


When  you're not with me, these days are boring
Wish it were easy like Sunday morning

When I'd be waking up with you
Only doing those things we wanna do
My heart is anywhere you go
When I'm next to you I'm home

-One  Ticket : One Ok Rock-

Pagi ini saya sudah mengisi bak mandi saya penuh. Sejak jam 9 pagi saya sudah keluar masuk kamar mandi, memeriksa suhu air untuk saya berendam. Tepat jam 09.15 saya nyebur dan mulai menikmati air hangat yang merendam hampir seluruh badan saya. Hingga kemudian saya tersadar bahwa saya mendengar suara dari arah kamar. Saya membuka tirai bak mandi, beralih ke pegangan pintu dan menemukan sesosok anak kecil duduk manis lalu tertawa menyambut kepala saya yang melongok dari dalam kamar mandi. Hahaha... Arkana (anak teman seperjalanan saya) sudah siap rupanya. Kasihan meninggalkannya sendiri di kamar, saya pun akhirnya menyudahi acara berendam. Padahal saya baru setengah jam berendam.
Sekitar setengah 11 teman saya dan anaknya pergi, mereka menuju Tokyo University. Meski jadwal ulang tetap saya tak mau acara "kencan" saya terganggu. Kami hanya bisa bertemu hari ini, maka saya dengan egois meminta untuk tidak diganggu.
Pertama kali saya mengenalnya adalah beberapa bulan lalu, ketika daya merasa benar-benar di bawah akibat undangan dari si mas yang datang tiba-tiba tanpa hujan, tanpa angin. Ketika mengenal si mas yang tak perlu kita sebut namanya, selain merasakan indahnya melambung katika jatuh cinta, saya juga diajarkan untuk merasakan sakitnya ketika jatuh, patah hati. Anyway, thanks for your lesson, it's means so much for me. Balik lagi, awal perkenalan kami adalah ketika saya mulai rajin berselancar di dunia maya guna mencari teman untuk sekedar bicara. Saya tak bisa berbagi cerita pada teman-teman saya karena saya tahu semua kekonyolan patah hati saya akibat khayalan saya yang terlalu tinggi. Saya perlu teman bicara tanpa perlu mendengar nasihat dan wejangan. Saya hanya perlu bicara dan itulah yang saya lakukan.
Di perkenalan pertama kami, saya menceritakan semua kekesalan, kekecewaan dan penyesalan saya pada orang yang akan saya temui hari ini. Belajar dari pengalaman tentang merasa terbuang, saya tidak pernah berharap bahwa orang itu akan datang menemui saja. Terlebih dengan semua kekurangan yang saya tunjukan di hadapannya.
Terkadang kami melakukan video call. Saya dengan santainya memperlihatkan wajah polos tanpa make up yang mungkin sangat tak menarik, meskipun pada kenyataannya saya memang jarang memakai make up. Tidak ada perbedaan antara dengan atau tanpa make up.
Selisih usia kami cukup jauh tapi sama sekali bukan masalah bagiku. Ketika bilang "恋人になっていいですか" saya hanya mengiyakan tanpa banyak berpikir. Saya sudah membayangkan menangis kehujanan di depan stasiun hanya untuk menunggu orang yang belum tentu akan datang, maka jika saya ternyata memang harus mengalaminya, maka itu akan menjadi bagian dari mimpi (buruk) yang jadi nyata.
Mungkin karena faktor usia juga, sejak awal dia lebih sering mendengarkan dibanding bercerita tentang kehidupannya. Sempat satu waktu saya dibuat kesal karena ketika saya bercerita dia hanya menggunakan 3 kata sebagai jawaban : ya, tidak, dan begitu. Saking kesalnya saya bilang bahwa dia adalah orang terakhir yang akan saya mintai tolong ketika saya mengalami kesulitan di Tokyo. Nyatanya dia menjadi orang pertama yang saya kabari ketika saya tiba, dia menjadi orang pertama yang saya mintai saran tentang apa yang harus saya lakukan dan kemana saya harus pergi. Dia jadi orang pertama yang saya ingin mintai tolong ketika saya tersesat dalam perjalanan menuju bandara, untungnya paket internet saya habis jadi tak bisa menghubunginya (^_^;).
Seingat saya, saya bukan tipikal orang yang bergantung pada orang lain. Saya melakukan segala sesuatu sendiri dan saya menikmatinya. Dan dia adalah orang pertama yang membuat saya ketergantungan ($_$).
Dengan segala pengetahuan yang saya miliki tentangnya saya tak berhak memberikan penilaian untuknya, jadi kali ini pun saya hanya akan menceritakan sisi subjektif yang saya miliki.
1日デートkami dimulai dari berjalan keluar dari hotel menuju Tokyo Tower. Karena hari masih siang, saya minta ditemani untuk pergi ke 21_21 Design Sight.


Design Sight merupakan salah satu karya arsitek terkenal, Tadao Ando. Gedung ini merupakan sebuah galeri seni, ketika kami berkunjungpun sedang ada pertunjukan. Yang menjadi ciri khas dari bangunan Tadao Ando adalah beton ekspos tanpa finishing. Sehingga warna dasar dari bangunan adalah abu-abu.



Puas berkeliling kami lanjutkan perjalanan menuju Tokyo Tower. Jalan yang kami lewati benar-benar menyenangkan. Ada satu padang rumput terbuka yang diduduki orang-orang. Hari ini memang cuaca tidak terlalu dingin tapi juga tidak sepanas kemarin sehingga sangat nyaman untuk bersantai di luar ruangan.

Ketika sedang melewati sebuah jembatan, tiba-tiba sudut matanya menunjuk sebuah arah yang tak lain adalah menara yang hendak kami datangi. Tanpa ragu saya memintanya untuk jalan kaki kesana. Ketika melihat google maps, jarak kami sekitar 2 km. Dengan sombongnya saya minta supaya kami jalan kaki saja, tidak perlu naik kereta. Saran saya ditanggapi dengan tatapan tak percayanya. Guna menghindari konflik, dia hanya pasrah mengikuti kemauan saya. 
Di pertengahan jalan saya mengap-mengap karena capai. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa orang jepang berjalan kaki dengan sangat cepat meski dia berkali-kali berhenti untuk menunggu langkah kaki saya yang begitu lambat.
Saya bukan orang yang bisa berjalan cepat. Saya selalu menoleh ke kanan dan kekiri ketika berjalan kaki. Ketika saya masih kecil, selain menoleh ke kanan dan ke kiri, saya juga sering loncat-loncat tidak jelas. Saya sering membayangkan ada tanggul yang harus saya lompati ketika jalan, Karena itulah saya selalu berjalan di belakang. Meskipun setelah dewasa saya tak lagi berkhayal akan tanggul-tanggul yang harus saya lewati, saya masih mengengok sisi kanan dan kiri ketika berjalan. Saya akan berhenti cukup lama ketika menemukan hal yang menarik perhatian.
Sedikit merasa bersalah saya sering berlari kecil untuk menyejajari langkahnya. Tapi tetap saja sering tertinggal.
Setelah perjalanan panjang, akhirnya kami tiba di Tokyo Tower. Untuk bisa naik ke atas menara kami harus membayar ¥900 perorang dan sampailah kami di pertengahan. Sengaja kami tak naik sampai ke puncak, karena harga tiketnya mahal. Lagi pula saya juga tidak membayangkan untuk naik hingga ke atap. Romansa yang saya bayangkan hanya berjalan berdampingan dengan Tokyo Tower sebagai latar. Hahaha...

Setelah mengantar saya kembali ke Stasiun Asakusabashi, 1日デート kami pun berakhir. Tentu saja saya tak pernah berharap sebuah hubungan akan berakhir hanya dalam satu waktu. Saya menyukainya dan saya berharap saya bisa menemuinya lagi. Meski jauh di dalam lubuk hati saya berjanji untuk tak berharap banyak.
Perjalanan hari ini ditutup oleh sepanci sup panas ketika kami menikmati makan malam. Saya menikmati sashimi porsi kecil yang harganya tak kecil (^_^;)
Hari yang paling saya nantikan pun akhirnya berakhir.

Tokyo Day 2


Hari kedua saya diisi dengan kegiatan-kegiatan spontan tanpa rencana. Benar-benar liburan, hanya jalan kaki tanpa tujuan tapi saya menemukan banyak sekali tempat yang menyenangkan.
Rencana awal saya, hari ini akan saya isi dengan acara 1日デート -> 1 day date. Namun apa daya, pihak sebelah minta jadwal ulang dengan alasan akhir pekan ini kemungkinan thypoon akan datang ke Tokyo. Jadilah saya yang memang tak menyiapkan agenda khusus seharian ini harus pergi tanpa tujuan.
Mengingat saya ke Tokyo dengan tambahan bekal dari bu bos, maka saya berkewajiban untuk menyelesaikan tugas secepat yang saya bisa. Dengan mantap, naiklah saya kereta menuju Takadanobaba, saya akan survey sebuah bangunan. Bangunan yang saya tuju memiliki konstruksi fasade yang sangat menarik, sehingga salah seorang pemilik modal menjadikannya reverensi untuk desain kami selanjutnya.
The reason of solo traveling is the best way for me is I can go where and when as I want.
Saya mungkin akan membahas secara khusus tentang keunikan fasade bangunan tersebut di tulisan saya yang lain.
Pada malam sebelumnya, ketika mengobrol dengan Tomoya tentang rencana ke Takadanobaba, dia bilang lokasi itu sangat terkenal karena ada salah satu universiti populer disana, Waseda University. Tapi mengingat saya yang sering kesulitan menemukan satu lokasi tujuan, saya tidak berharap banyak bisa berkunjung kesana.
Setelah mengambil beberapa foto konstruksi saya jalan kaki dan memeriksa jarak saya dari Waseda University. Jarak saya hanya sekitar 900 meter berjalan kaki, begitu menggoda untuk saya. Akhirnya saya putuskan untuk jalan kaki, kalau bisa sampai kampus ya Alhamdulillah, kalau tidak maka saya akan menyalahkan si orang yang minta jadwal ulang 1日デート.

Saya benar-benar menikmati berjalan kaki menuju Waseda University. Karena saya pergi hari minggu, jalanan tidak terlalu ramai, saya yakin kalau saya akan kesulitan untuk dapat tempat duduk di kereta kalau saya pergi di hari kerja mengingat pasti banyak sekali mahasiswa yang menuju lokasi.
Dalam perjalanan, saya mampir ke kuil Anahachimangu. Dari depan, selain disambut gerbang/tori, kita juga disambut oleh monumen seorang prajurit berkuda yang sedang mengarahkan anak panahnya. Naik beberapa anak tangga, saya disambut pemandangan taman yang benar-benar menyejukan mata. Kamu tahu kenapa saya jatuh cinta dengan Jepang? Di tengah kemajuan ekonomi dan teknologi yang dimilikinya, mereka tetap bisa menjadi bangsa yang memegang teguh budayanya. Di tengah tingginya gedung-gedung pencakar langit, kita masih bisa melihat kuil-kuil tempat mereka berdoa. Berdiri anggun dengan warna merah yang begitu kontras dari lingkungan sekitar.


Seperti lokasi kuil-kuil lainnya, kita harus melewati beberapa anak tangga untuk mencapai bangunan utama. Begitu sampai di pelataran utama, saya ikut berkumur dan mencuci tangan. Sama seperti pengunjung (lokal) yang hendak berdoa. Bukan hanya berkumur tapi saya juga minum beberapa teguk. Hahaha... Segar. Airnya benar-benar jernih. Sebenarnya kalau bukan karena takut dianggap tidak sopan, saya ingin sekali mengisi botol air minum saya yang sudah kosong sejak dua jam lalu (^_^;)

Di depan kuil utama ada 2 buah pohon sangat besar. Saya memang suka tanaman, jadilah saya mengelus batang pohon yang tak mungkin bisa saya peluk itu. Betapa kagetnya saya ketika kemudian ada sepasang suami istri yang juga melakukan hal yang sama dengan saya. Bedanya mereka menyentuh batang pohon sambil berguman, mungkin doa. Ini kali pertama saya melihat ritual doa semacam ini, saya nanti akan mencari tahu alasan kenapa mereka berdoa di pohon itu.

Saya tidak masuk ke altar untuk berdoa ataupun membeli jimat yang kemudian saya jadikan cendera mata. Saya hanya menikmati suasana yang begitu sejuk. Matahari sudah tepat di atas kepala dan perut saya sudah keroncongan.
Saya segera melanjutkan perjalanan menuju Waseda University. Dan ternyata saya bisa sampai dengan selamat.
\(^0^)/

Ternyata meskipun ini hari minggu banyak orang datang. Yang saya sukai disini adalah mereka duduk sambil memegang buku. Sebagian ada yang memegang smartphone, tapi tak banyak.
Saya menyukai nuansa akademis yang begitu terasa. Semangat saya untuk mencari beasiswa guna melanjutkan sekolah di negeri ini kembali bergelora. Bismillah... Semoga kunjungan berikutnya tak hanya datang untuk liburan:)

Setelah jalan-jalan di Waseda University saya kembali menuju ke Stasiun Nishi Waseda. Saya berencana pergi ke LINE Friends Store Harajuku. Melihat rute menuju lokasi satu arah dengan Meiji Jingu, saya putuskan untuk mampir ke Meiji Jingu yang mana ternyata saaangat luas. Sama seperti masuk ke Kebun Raya Bogor, kalau saya berniat menjelajahi seluruhnya, 1 hari tidaklah cukup buat saya. Hutannya benar-benar rimbun. Masuk area Meiji Jingu benar-benar membuat saya merasa seperti di Taman Raya Bogor. Saya bisa mendengar suara burung gagak dimanapun.

Berbeda dengan mitos keberadaan burung gagak di Indonesia, di Jepang burung gagak merupakan salah satu hewan yang dilindungi, kita bisa melihat dan mendengar suaranya dimanapun, termasuk di Tokyo, kota megapolitan.

Saking luasnya, saya sampai kepayahan (^_^;)

Dengan temperatur udara yang hampir sama dengan di Jakarta, saya melewati hari yang sangat panas.

Ah, saya rasa saya memang orang yang beruntung. Ketika tiba di Meiji Jingu saya melihat iringan pengantin. Ah~~~羨ましい (T-T).

Setelah benar-benar merasa lelah saya putuskan untuk pulang ke hotel untuk istirahat sebentar. Saya pikir saya bisa ke LINE Friends Store malam ini.
Saya tiba di hotel pukul 5 sore dan berencana pergi keluar setengah delapan nanti. Teman saya mengajak pergi ke Sensoji, jadilah saya kembali berkunjung ke Sensoji. Makanan apa yang kami coba? Tak ada!
Kami mencari makan di perjalanan pulang, sekitar pukul sepuluh kurang. Hampir semua toko sudah tidak menerima pesanan, jadi malam ini kami putuskan untuk membeli makan di toko serba ada.
Dan perjalanan hari keduapun berakhir. Selamat malam:)
Saya sudah tak sabar menantikan esok.

Tokyo Day 1

Holla~~~

It's been so long that I write here. Sarang laba-laba dimana-mana, alamak berdebu sekali blogku ini. Saya harus pastikan bahwa tak ada siapapun kecuali saya yang menguhi blog ini (wkwkwk... parnoan-efek kebanyakan nonton cerita horror).
As the title, saya akan menceritakan tentang perjalanan pertama saya ke Tokyo. Ah~~~ Finally, Tokyo! Dream comes true.
Rencana perjalanan saya ke Tokyo ini sudah saya rencanakan jauh-jauh hari. Saya beli tiket sejak bulan Januari 2018 kalau tak salah. Bukan tanpa maksud, tanggal 6 Oktober 2018 ini benar-benar tanggal istimewa. Kenapa? Karena tanggal 6 ini adalah hari sabtu dan bertepatan dengan tanggal lahir si mas, yang tak perlu disebut namanya. 
Jadi, awal tujuan saya ke Tokyo tak lain dan tak bukan karena saya bermaksud memberikan sedikit kejutan di hari lahirnya, tapi ternyata saya sudah dikejutkan lebih dulu dengan undangan pernikahannya (hahaha... tertawa miris menyadari perjalanan yang akan terasa menyedihkan).
Yasudahlah, tiket terlanjur dipesan.
Meski sempat ragu, akhirnya saya memesan hotel untuk tinggal. Saya memilih Yanagibashi Hotel. Lokasinya berjarak sekitar 300 meter dari Asakusabashi Station dan berjarak hanya sekitar 2 km dari Kuil Sensoji dan Tokyo Skytree.
Baiklah, cerita hari pertama dimulai.
Saya tidak pergi sendiri, saya pergi bersama seorang teman dan bayi 2 tahunnya. Kami bertiga tiba di Bandara Haneda tepat pukul 9 pagi. Ketika berjalan mencari halte bus untuk membeli tiket tujuan Shibuya, tanpa sengaja kami menemukan shower room tanpa banyak argumen kami langsung masuk. Harganya ¥1.030 atau sekitar Rp. 150.000,-/30 menit. Bagi orang Indonesia seperti saya yang biasanya ke toilet dengan cuma bayar dua ribu rupiah, tentu saja harga ini cukup bikin ngelus dada. Tapi tentu saja fasilitas sebanding dengan harga. Kamar mandinya bersih sangat, saya kira fasilitasnya setara dengan kamar mandi hotel bintang 3 di Indonesia. Jadi saya tidak kecewa membayar cukup mahal untuk ini.
Kalau pembaca sekalian kebetulan tiba di Bandara Haneda dan berniat mandi dulu sebelum melancong kesana-kemari, bisa coba fasilitas shower room ini. Saya lupa mengambil foto, tapi ruangannya tepat di sebelah kanan sebelum pintu keluar imigrasi.
Setelah kurang lebih 1 jam mengendarai limousine bus, kami tiba di Shibuya. 
Dari dulu saya tidak begitu suka tempat yang ramai, selain karena sering membuat saya disorientasi, biasanya saya berkeringat dingin dan mual. Endeso.
Setelah berputar-putar mencari coin locker dan tak berhasil menemukannya, saya menemui teman saya di Hachiko Statue. Sebelumnya saya tidak pernah mencari tahu lokasi monumen ini, saya kira lokasinya sangat jauh dan terpencil. Sampai satu waktu tiba-tiba saya mendapat kiriman foto dari si mas (T-T) ketika dia kebetulan sedang berkunjung kesana. Jadilah Hachiko Statue menjadi salah satu destinasi yang masuk daftar perjalanan saya karena saya memang mendapat banyak informasi tentang objek-objek yang sangat menarik.

Setelah bertemu Shunichi (nama teman yang hendak saya temui di Shibuya), kami berkeliling mencari locker coin untuk menyimpan koper yang masya allah... ketika lapar bebannya terasa jadi 2x lipat dari berat aslinya.
Makanan pertama yang saya makan ketika tiba di Tokyo adalah sup jamur. Hahahaha... Agak lucu rasanya, menempuh 8 jam perjalanan tapi makan makanan pertama yang saya makan adalah barat. Ini akibat perut yang sudah tak bisa diajak kompromi dan tak lagi menemukan restoran tanpa daging.
Setelah kenyang, kami langsung menuju stasiun dan pergi menuju Ohmiya Hacimangu. Karena saya memang tidak berniat mengunjungi tempat wisata, dari jauh-jauh hari saya minta Shunichi untuk membawa saya ke kuil yang "tidak tertenal". Sejak pertama kali menginjakan kaki di Jepang 3 tahun lalu, saya jatuh cinta pada desain kuil, entah itu Kuil Budha maupun Kuil Shinto. Saya tidak pernah merasa kecewa ketika tersesat di jalan lalu menemukan sebuah kuil luas yang seolah memang sudah berniat menyambut kedatangan saya (hiperbola mode akut).

Dan perjalanan pertama saya dimulai dari kuil Ohmiya Hachimangu.

Kuil Shinto ini terletak di Suginami-ku. Katanya dari rumah Shunichi hanya perlu jalan kaki, tapi karena kami saya meminjam kartu Shunichi untuk memakai coin locker, dia harus mengantar saya ke Shibuya lagi.
Menurut mbah google, setiap tanggal 15 ada festival di kuil ini. Mungkin lain kali saya ingin berkunjung ketika ada festival disana.

Saya benar-benar menyukai suasana di sekitar kuil. Karena datang menjelang musim semi, saya bisa mencium wangi pohon di sekitar kuil. Kalau tidak ingat saya masih punya janji untuk bertemu teman di Sensoji, saya yakin kalau saya akan meminta Shunichi menemani saya hanya untuk duduk dan mengobrol di pelataran kuil yang begitu sejuk ini. Saking terlalu menikmati suasana kuil, saya hampir lupa untuk mengambil foto bangunan utama.
Yang menarik dari kuil ini adalah saya banyak menemukan banyak jimat untuk permohonan anak. Baik itu yang ingin punya anak maupun jimat untuk kebaikan anak-anak yang sudah lahir. Karena saya belum punya anak, belum pun punya calon bapak buat anak saya kelak, saya memilih jimat yang bersifat umum, omikuji. Biasanya omikuji ditulis langsung ketika kita meminta, tapi disana kita hanya perlu mengambil omikuji yang sudah ada di dalam toples, seperti undian. Saya beruntung, omikuji saya bilang saya orang yang memilki peruntungan besar. Hahaha... karena isinya memotivasi, jadi saya tidak perlu menggantungnya di kuil.

Setelah berpisah dengan Shunichi di Shibuya, saya naik kereta menuju Sensoji yang letaknya tak jauh dari Stasiun Asakusa.
Ini adalah kali pertama saya naik kereta sendirian di Jepang. Antusias dan takut nyasar menyelimuti perasaan saya.
Suasana di dalam gerbong tidak jauh berbeda dengan suasa dalam KRL JABODETABEK, karena memang tipikal:)
Saya tiba di Asakusa tanpa masalah tapi kemudian saya kebingungan dengan rute menujj Sensoji (^_^;)
Tomoya-teman yang hendak saya temui sudah lebih dulu tiba di Sensoji lantaran saya terlambat datang. Jadi mau tak mau saya harus ke Sensoji sendiri. Berbekal navigasi google maps, akhirnya saya bisa tiba di Sensoji. Yoohoo~~~
Yang lucu adalah kami tidak bertemu di gerbang utama, melainkan di pelataran utama kuil. Hahaha... Ternyata saya melewatkan gerbang utama dan masuk melalui jalan samping.

Kuil ini sangat luas. Sama seperti di Ohmiya Hacimangu, saya juga ikut antrian untuk berdoa di altarnya. Menurut Tomoya, ¥5 adalah koin pembawa hoki. Di pertemuan pertama kami pun dia menghadiahi 2 keping ¥5. Dia bilang, pelafalan ¥5 (goen) mirip dengan kanji yang memiliki arti "pertemuan yang baik" sehingga kami sepakat untuk menggunakan ¥5 untuk berdoa.

Tomoya adalah teman yang saya kenal ketika sedang jalan-jalan di Borobudur hampir 2 tahun lalu. Dia anak yang sangat ceria. Bertemu dengannya selalu membuat saya makin banyak bicara. Berbeda dengan beberapa teman Jepang saya yang lain, saya bisa tertawa tanpa khawatir dibilang tidak sopan di depannya. Karena diapun terkadang tanpa sungkan menertawakan kekonyolan yang saya lakukan.

Setelah selesai makan mie dingin, kami berpisah di Stasiun Asakusa. Kami berjanji untuk melakukan double date pada pertemuan selanjutnya yang entah kapan:)

Karena terlalu sibuk mengobrol dengan Tomoya, saya hampir lupa untuk mengbil foto Sensoji. Hahaha... Dalam hati saya berjanji bahwa esok saya harus datang lagi kemari hanya untuk mengambil foto sebanyak mungkin.
Oh ya saya hampir lupa, karena jarak yang cukup dekat, kita bisa melihat Tokyo Skytree dari pelataran Sensoji. Foto-foto yang saya unggah bukanlah foto kunjungan pertama, melainkan kunjungan di malam berikutnya.

Perjalanan hari pertama pun berakhir di jam 9 malam waktu Tokyo. Kepala saya sudah mengantuk luar biasa, karena saya hampir selalu tidur sebelum jam 10 waktu indonesia. Sampai jumpa di perjalanan hari kedua (^0^)/

Jumat, 25 Mei 2018

Short Episode

(credit image : 米津玄師 Lemon)

Aku bisa melihatnya dari jendela mobil yang sengaja kuturunkan. Dia duduk tepat di samping jendela toko, karena itu aku bisa melihatnya dengan sangat jelas.
Tidak banyak perubahan dari terakhir kali aku melihatnya, itulah kesan yang muncul dalam benakku. 
Kali pertama aku bertemu dengannya adalah dua tahun lalu, tepatnya ketika aku mengambil liburan musim panas dan mengunjungi salah satu negara tropis di Asia Tenggara.
Perkenalan pertama kami adalah melalui sebuah dating online. Aku sangat suka bepergian, karena itu aku suka berteman dengan orang asing. Akhirnya setelah lebih dari setahun berkomunikasi via LINE aku memutuskan mengunjungi kota tempatnya tinggal.
Sebuah kota metropolitan khas negara berkembang. Lalu lintas ibu kotanya akan menjebakmu dalam kemacetan yang luar biasa terutama jika kau bepergian pada jam sibuk. Selama tiga hari disana dia menemaniku mengunjungi beberapa tempat yang cukup terkenal disana.
Kurasa pertemuan kami bernilai lebih baginya.
Dia gadis yang baik, namun dia terlalu bersemangat dan aku merasa perhatiannya membebaniku sehingga kuputuskan untuk memutus semua komunikasi dengannya. Dia masih sering menghubungiku melalu LINE, kartu pos ataupun surat, tapi tak ada satupun yang kubalas. Kupikir semakin aku menanggapiya, semakin sulit menghindar darinya.
Masih sama seperti saat kami bertemu, dia hanya mengoleskan sedikit lip balm di bibirnya dan mungkin seulas bedak. Selebihnya dia tak memakai make up yang mencolok. Meski di negaraku make up merupakan bagian dari etika untuk menunjukan rasa penghargaan terhadap orang yang akan kita temui, bagiku gadis yang tampil tanpa make up pun bukan masalah. Tidak seperti gadis-gadis di negaraku yang begitu tertarik dengan perkembangan fashion, penampilannya sangat sederhana. Hanya jilbab abu-abu bermotif bunga sakura yang membingkai wajah bulatnya yang membuat dia terlihat mencolok diantara semua pengunjung.
***
Tanpa sadar aku sudah berdiri di ambang pintu toko. Kulihat tatapannya tepat mengarah padaku. Menatapku dengan sangat intens. Tatapan yang sama dengan tatapan ketika pertama kali kami bertemu. Tatapan yang selalu membuatku salah tingkah. Ternyata budaya kami memang benar-benar berbeda, disini aku hampir tak pernah mendapatkan tatapan demikian dari seorang gadis karena itulah aku salah tingkah dibuatnya.
Hingga aku berdiri tepat di hadapannya dia masih saja menatapku, dari jarak dekat aku bisa melihat air mata tergenang di pelupuk mata yang terlihat lelah.
Dia segera memalingkan wajah ketika menyadari air mata mulai jatuh di pipinya. Hal ini semakin membuatku salah tingkah. Sebuah rasa bersalah menjalari hatiku. Bagaimanapun, aku memutus semua kontak bukan tanpa tahu perasaannya. Ya, gadis di hadapanku sempat berkata kalau dia menyukaiku. Namun aku tak punya cukup keberanian untuk mengatakan hal yang sama padanya.
"お久しぶりです!お元気ですか?" ujarnya seraya tersenyum. Senyum yang terlalu dipaksakan karena aku masih bisa melihat air mata yang mengembang di sudut matanya.
Aku tersenyum sambil mengambil tempat duduk di hadapannya. Seorang pelayan mendatangi kami dan menyerahkan menu book padaku.
"コーヒー下さい" ujarku dan diapun berlalu.
Kami mulai berbincang. Meski awalnya terasa canggung tapi dia gadis yang cukup pandai mencairkan suasana, sehingga tak butuh waktu lama untuk kami bisa mengobrol dengan santai. Aku sempat ragu untuk bertemu dengannya ketika tiba-tiba dia bilang sedang mengunjungi negaraku. Aku sempat berpikir bahwa dia akan memberiku sederet pertanyaan tentang alasanku menghilang setahun lalu. Tapi untunglah dia tak menyinggung hal itu sama sekali. Mungkin ia tak mau membuat suasana menjadi kaku dan canggung dengan membahas cerita lama.
***
Tiba-tiba dia berdiri dari tempat duduknya. "ちょっとトイレに行きます" ujarnya segera berlalu tanpa menunggu persetujuanku. 
Aku hanya mengangguk dan menatap punggungnya yang semakin menjauhiku.
***
Setengah jam berlalu sejak dia pamit pergi ke toilet. Aku sedikit heran dengan apa yang sedang dilakukannya. Dia sama sekali tak membawa barang ketika pergi. Tas dan barang bawaannya masih ada di hadapanku, jadi tak mungkin dia pergi meninggalkan toko ini begitu saja.
Setelah 40 menit dia masih tak kunjung datang, akhirnya aku memutuskan untuk menyusulnya. Beruntung ada seorang pelayan perempuan yang bisa kumintai tolong memeriksanya di toilet.
Dia bilang ada seseorang yang tergeletak di dalam salah satu bilik toilet. Tanpa ragu akupun segera masuk ke dalam toilet sementara pelayan toko meminta bantuan dari staff lain.
***
Aku kaget melihat kemeja putih yang dikenakannya bersimbah darah.
"どうしたの?" ujarku panik. Wajahnya benar-benar pucat tapi aku masih bisa melihatnya bernafas meski terlihat lemah. Berkali-kali aku memanggil namanya hingga akhirnya sedikit demi sedikit matanya terbuka. Tak butuh waktu lama hingga ambulan datang dan para petugas membawanya masuk. Akupun duduk di samping petugas yang segera memberikan pertolongan pertama.
Aku bisa melihat sebuah bekas luka jahitan yang cukup panjang di dadanya ketika petugas menggunting pakaiannya untuk melihat sumber darah yang mengalir. Sebagian bekas jahitan yang terbuka, itulah yang menyebabkan darah merembes di bajunya. 
Matanya terbuka, tangannya terangkat dan aku segera meraihnya "もう大丈夫だよ" ujarku. Aku tak yakin dengan apa yang kukatakan tapi hanya itu yang keluar dari mulutku. Dia tersenyum, terlihat lebih dipaksakan dari senyum yang sebelumnya kulihat.
"来たくれた、ありがとう" ujarnya pelan. Setitik air mata keluar dari sudut matanya. 
Aku tak bergeming dari tempatku ketika kurasakan genggaman tangannya semakin melemah. Petugas medis masih sibuk mengatasi darah yang masih saja mengalir meski mereka sudah menggunakan kain kasa dan menutupinya. 
Aku pun bisa melihat ketika dokter jaga segera memeriksanya begitu pintu ambulan terbuka. Tapi wajahnya berubah kaku dan meminta petugas lain membawanya ke ruang gawat darurat.
Dokter bilang itu adalah bekas jahitan operasi. Dari jahitannya yang masih terlihat sangat baru, dokter menebak dia baru saja menjalani operasi dua atau tiga hari lalu. Aku tak habis pikir dengannya, bagaimana bisa dia memaksakan diri menempuh perjalanan ke luar negeri dengan kondisi seperti itu. Aku bahkan tak yakin kalau dia mendapat izin untuk bisa keluar rumah sakit secepat itu. 
***
Setelah menjahit ulang bekas operasinya, dokter bilang keadaannya mulai stabil, hanya perlu menunggu hingga dia siuman maka dia sudah benar-benar terlepas dari masa kritis.
***
Kuputuskan untuk pulang karena baju yang kupakai terkena banyak darah ketika tanpa sadar aku memeluknya saat ia tergeletak di toilet tadi. Aku akan kembali ke rumah sakit besok pagi, karena memang malam ini aku masih punya janji untuk bertemu dengan seseorang dan aku akan memgambil cuti dari pekerjaanku esok.
***
Jam masih menunjukan pukul 4 pagi ketika teleponku berdering, ternyata dari rumah sakit. Mereka mengabariku bahwa kondisinya tiba-tiba memburuk. Tanpa menunggu kalimat selanjutnya aku segera mengambil kunci mobil dan pergi menuju rumah sakit. Aku menyetir dengan sangat ngebut sehingga hanya perlu waktu 14 menit untuk sampai di depan pintu ruangan dimana dia dirawat. Ketika aku sampai, hanya ada seorang suster yang sedang merapikan semua peralatan. Kain putih yang sebelumnya dipakai untuk menyelimuti tubuhnya sekarang sempurna menutup seluruh badan hingga ke kepala. Menyadari keberadaanku, suster itu mundur dan memintaku untuk pergi menemui dokter jaga setelah selesai dengan urusanku. 
Aku bahkan tak tahu apa urusanku disini. Jangankan untuk menyambut kedatanganku, gadis itu bahkan tak akan pernah membuka matanya. Butuh beberapa menit hingga aku mampu menggerakan tanganku untuk membuka kain yang menutupi wajahnya. Aku bisa melihat wajah pucatnya dengan sangat jelas. 
Bagaimana bisa aku tak menyadari betapa pucat wajah itu ketika kami bertemu? Bagaimana mungkin aku tak menyadari ekspresinya menahan rasa sakit ketika kami berbincang? Apakah aku terlalu sibuk mengatur perasaanku sehingga aku tak menyadari bahwa mungkin saat itu ada darah mulai merembes melalui bajunya? Bagaimana bisa aku mengabaikannya sedemikian rupa?
***
Hingga saat ini hanya ada satu kalimat yang ingin kusampaikan padanya. Sebuah kalimat yang kuyakin bisa membuatnya melompat girang memelukku, seperti apa yang selalu dia katakan padaku.
"出会ったらただハグしたいです!" tulisnya di semua teks yang dia kirim padaku. Semua teks yang kuabaikan untuk sekian lama.
 "スキだよ!" bisikku pada hembusan angin.

Episode Cirebon

Beberapa minggu lalu saya pergi liburan singkat ke Kota Cirebon, salah satu kota di Jawa Barat. Uniknya, meskipun merupakan salah satu kota yang masuk wilayah administratif Jawa Barat (yang mayoritas penduduknya Suku Sunda), tulisan resmi Keraton Cirebon adalah Aksara Jawa/honocoroko. Saya pergi dengan salah seorang teman saya.
Kami mengambil kereta jam sepuluh lewat pada hari jumat. Dengan pertimbangan untuk menghemat tenaga dan memanfaatkan liburan untuk beristirahat, kami sengaja mengambil kereta malam sehingga kami punya cukup banyak waktu untuk jalan-jalan di hari sabtu.
Rencana awal saya adalah pulang di hari minggu sore, namun mendadak saya ada urusan dan harus pulang ke Jakarta di hari minggu pagi.
Kami tiba di Stasiun Cirebon sekitar pukul 1.30 pagi dan langsung check in di salah satu penginapan yang sudah saya booking beberapa hari sebelumnya. Jaraknya hanya sekitar 1,5 KM dari stasiun, cukup dekat untuk berjalan kaki sebenarnya. Tapi siapa yang mau jalan kaki di pagi buta di kota asing, jadi kami memutuskan untuk memesan taksi online. Sebenarnya ketika booking, harga penginapan kami hanya 150k, karena sedang ada promo. Namun begitu check in, pihak hotel meminta biaya sesuai harga normal dengan alasan kami menginap di akhir pekan. Terlalu lelah untuk berdebat kami pun membayar biaya penginapan sesuai permintaan. Segera setelah mendapatkan kunci, kami menuju kamar, berbenah, mandi dan langsung tidur.
Mungkin karena beberapa waktu ini saya agak jarang melakukan perjalanan jauh, saya lebih suka menghabiskan waktu dengan tiduran di hotel ketika liburan. Keliru memang, tapi bagi saya, liburan adalah saat dimana kita melupakan semua rutinitas dan memberikan suntikan energi setelah semua terkuras habis di hari-hari kerja, jadi tak masalah jika liburan saya hanya diisi dengan acara tidur dan nonton TV di hotel.
Bicara soal liburan tanpa aktivitas, bulan Maret lalu saya sempat pergi liburan ke Kota Gudeg, Jogja. Saya mengambil pesawat pagi dari Soekarno-Hatta, begitu tiba di Bandara Adi Sutjipto, saya langsung menuju ke halte Trans Jogja untuk selanjutnya pergi ke Candi Borobudur. Seperti ada magnet yang menarik saya kesana, selalu tujuan utama saya ketika mengunjungi Jogjakarta adalah Borobudur, padahal jarak Jogja-Borobudur harus ditempuh sekitar 2 jam dengan kendaraan umum. Selesai dengan tugas pokok, saya mencari hotel di sekitar Jalan Malioboro. Hingga keesokan harinya, saya sama sekali tak beranjak dari tempat tidur hotel :D
Well yeah, ketika itu adalah masa dimana saya galau, labil dan emosional. Menikmati rasa "dicampakan", saya hanya makan, nangis, tidur. Sampai keesokan harinya saya harus late check out, saya hanya mengulangi aktivitas yang sama, makan, nangis, tidur. Hahahaha... benar-benar liburan kelabu.
Lupakan soal liburan di Jogja, karena cerita soal Cirebon masih sangat panjang.
Bangun jam delapan pagi dalam kedaan perut keroncongan, dengan sigap kami langsung mandi dan pergi keluar mencari sarapan. Ternyata penginapan kami sangat dekat dengan lokasi Rumah Makan Ibu Nur. Pertama kali saya mendengar nama restoran ini adalah ketika salah seorang klien saya mengajak berkunjung ke Kuningan, dalam perjalanan pulang beliau mengajak saya mengunjungi rumah makan tersebut karena menurutnya itu adalah restoran dengan masakan yang sangat enak. Sayangnya ketika sampai lokasi, rumah makan sedang tutup jadi kami pergi ke rumah makan lain.
Beruntung tanpa sengaja ternyata saya memilih penginapan yang lokasinya sangat dekat dengan rumah makan tersebut, maka saya mengajak teman saya untuk sarapan disana. Kami memilih menu Nasi Empal Gentong, salah satu menu andalannya.

Masakan yang kami pesan benar-benar sesuai dengan lidah saya, dari 1-10 saya berani memberikan nilai 10. Daging yang diolah menjadi empal benar-benar diolah dalam sebuah gentong yang terbuat dari tanah liat. Selain lembut, rempah dan santannya tidak membuat pusing. Begitu menuju kasir, ternyata harganya pun benar-benar tidak bikin kantong bolong. Kalau tidak salah, satu porsi nasi empal gentong lengkap dengan es jeruk adalah sekitar 25 ribu rupiah. Saya lupa berapa harga pastinya, tapi yang pasti, dibandingkan dengan harga makanan di food court ataupun rumah makan di Jakarta sangat jauh berbeda, bukan?

Selesai makan kami langsung menuju ke Keraton Kasepuhan. Letaknya sekita tiga kilo meter dari Rumah Makan Ibu Nur. Sesampainya disana kami berkeliling, mulai dari pendopo di depan alun-alun sampai ke museum dan kediaman sultan. Kompleksnya cukup luas dan banyak pohon rindang yang membuat udara di sekitar menjadi sejuk. Saya pikir, kalau saya tinggal di Cirebon, keraton akan menjadi salah satu tempat favorit saya untuk melamun. Selain sejuk, tempatnya juga bersih.
 

Keuntungan sebuah heritage dikelola oleh pihak swasta adalah pengelolaannya yang lebih baik. Tidak ada sampah, karena hampir di setiap sudut ada petugas kebersihan yang sedang bekerja. Tapi kekurangannya adalah hampir di semua pintu disediakan loket tiket yang berarti anda harus selalu merogoh kocek untuk memasuki tempat-tempat tertentu.
 

Kami masuk ke ruang museum keraton. Tentu saja khas bangunan museum, adem dan penuh dengan berbagai benda bersejarah. Yang menarik perhatian saya adalah lukisan Prabu Siliwangi yang terpasang di salah satu dinding museum. Menurut pemandu yang menemani kami, lukisan tersebut merupan lukisan 3D yang dibuat oleh seniman (maaf saya lupa namanya) melalui proses berpuasa selama beberapa hari.
Bagian paling menarik dari lukisan tersebut adalah mata Prabu Siliwangi yang seolah mengikuti gerak langkah kita. Jika saja saya tidak mendapatkan penjelasan mengenai lukisan 3D tersebut, sudah pasti saya panik lantaran merasa diikuti oleh lirikan sang lukisan :p
 

Puas berkeliling, matahari sudah berada tepat di atas ubun-ubun. Niat kami selanjutnya adalah mengunjungi Keraton Kanoman. Melihat lokasi Keraton Kanoman di peta yang tak begitu jauh dari Keraton Kasepuhan, kami memutuskan berjalan kaki menuju lokasi. Tapi ternyata berjalan kaki di bawah terik panas matahari benar-benar menguras energi. Setengah perjalanan, kami duduk-duduk di trotoar pasar. Lanjut perjalanan, sekitar dua pertiga jalan kami mampir di tempat penjual tahu gejrot. Kita memang bisa menemukan tahu gejrot dimanapun, tapi makan langsung tahu gejrot di tempat asalnya tentu saja terasa istimewa, apalagi dalam keadaan perut yang sudah mulai lapar.
Selesai makan, karena kekenyangan kami memutuskan untuk pulang ke penginapan. Lalu tidur.
Sore hari, bangun tidur lagi-lagi perut lapar, kembali kami ke Rumah Makan Ibu Nur dengan pilihan menu nasi lengko. Tidak jauh berbeda dengan kesan ketika makan nasi empal gentong, selain enak, harganya pun sangat terjangkau. Jadi buat teman-teman yang berkunjung ke Cirebon dan mencari tempat makan, saya cukup berani merekomendasikan ruma makan ini:).
Selesai makan kami kembali ke penginapan, lanjut tidur lalu keluar untuk makan malam. Hahaha... kalau diingat-ingat mungkin 70% dari waktu liburan benar-benar dihabiskan untuk tidur.
Sayangnya karena harus mengambil kereta pagi ke Jakarta, saya tidak sempat mencicipi Nasi Jamblang Ibu Nur yang banyak dibicarakan. Namun dengan demikian, saya punya alasan untuk kembali mengunjungi kota tersebut, bukan?
Untuk yang sedang mencari referensi tempat liburan yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, Anda bisa mempertimbangkan Kota Cirebon. Jika enggan mencari penginapan, anda bisa memilih pulang pergi di hari yang sama karena jarak Jakarta-Cirebon kurang lebih hanya tiga jam perjalanan dengan kereta api. Jika mau puas berkeliling, bisa menginap semalam dan kembali ke Jakarta keesokan harinya.
After all, liburan tak harus selalu pergi jauh, tapi mengunjungi tempat baru, bertemu dengan orang asing dan sedikit berbincang bisa membantu menghilangkan penat. Tapi bukan hal yang buruk juga jika liburan anda hanya diisi dengan acara tidur seharian dan bermalas-malasan di atas kasur.
Selamat menunaikan ibadah puasa dan bersiap menyambut libur panjang :)

Jakarta, May 25th, 2018

Jumat, 06 April 2018

On a Rainy Day

Ini adalah ketiga kalinya aku melihat gadis itu duduk di meja paling pojok toko kami. Tiga malam berturut-turut ini ia datang. Dia hanya memesan segelas susu hangat dan sepotong kue, sama seperti dua malam sebelumnya. Aku tak yakin kalau dia ingin memakan pesanannya, karena setelah memesan dia hanya duduk hingga toko kami hampir tutup. Tentu saja aku mengingat wajahnya, karena dua malam sebelumnya aku selalu mengingatkannya kalau toko kami hampir tutup dan dia harus segera keluar dari toko.
Kulihat sesekali ia memandangi telpon genggam yang tergeletak di hadapannya. Kurasa dia menunggu seseorang. Setiap malam dia menunggu hampir selama 4 jam, bagiku itu hal yang luar biasa karena aku sangat tak suka menunggu.
Dia selalu membawa sebuah tas, sepintas aku bisa melihat isinya adalah sebuah kado yang terbungkus rapi. Aku penasaran dengan kelakuannya, tapi tentu saja aku harus menahan diri jika tak ingin disebut lancang.
Malan ini dia terlihat agak gusar. Kulihat dia berkali-kali menggigit bibir bawahnya dan pandangannya tertuju pada jalan di depan toko kami.
Berbeda dengan jalanan di Shinjuku, meskipun sama-sama berada di Tokyo, jalanan di depan toko kami tidak begitu ramai. Pengunjung pun biasanya adalah pengunjung tetap yang merupakan penduduk sekitar toko.
Dari penampilannya, kutebak gadis itu adalah orang asing. Bahasa Jepangnya cukup untuk berkomunikasi ketika dia memesan makanan. Mungkin dia mahasiswi asing dan tinggal di sekitar sini.
Di luar, tetesan ai hujan mulai turun. Sayangnya, sama seperti malam-malam sebelumnya, kami harus menutup toko pada jam 11, mau tidak mau aku terpaksa menghampirinya. Setelah membayar pesanannya, gadis itu segera berlalu, tapi karena hujan turun makin deras ia hanya berdiri di depan pintu. Dia tak membawa payung.
Sebenarnya pada bulan oktober jarang turun hujan di Tokyo, udarapun tidak begitu dingin. Mungkin malam ini alam mendramatisasi perasaan gadis itu melalui rintik air hujan.
Aku menghampirinya dengan sebuah payung di tangan. 「良かったら」ujarku sambil menyerahkan payung. Sesaat dia menatapku. 「ありがとうございます、でも明日はお国に帰りますから。もう来ないです」wajabnya menolak payungku.
Akhirnya kami sedikit berbincang tentang perjalanannya ke Tokyo. 
Ia datang dari Indonesia dua hari yang lalu untuk menepati janjinya pada kenalan yang tinggal di sekitar toko kami. Sayangnya, komunikasi mereka sudah terputus sejak delapan bulan lalu. Ia sudah mencoba menghubungi kenalannya melalu pesan dan telpon, tapi tak ada satupun yang mendapat jawaban.
Jika itu aku, kukira aku tak akan menyia-nyiakan kedatanganku ke luar negeri hanya untuk menunggu orang yang tidak menginginkan kedatanganku. Oh, kenalannya adalah seorang pria. Aku bisa melihat binar di matanya ketika ia bercerita tentang orang yang ingin ditemuinya. Benar kata pepatah, bahwa ada tiga hal yang tidak bisa disembunyikan; batuk, kemiskinan dan cinta.
Hampir satu jam ia berdiri menunggu hujan (atau pria yang tak pasti akan datang menemuinya )yang tak kunjung reda. Kulihat akhirnya dia berlari menuju ke arah stasiun.
***
Keesokan harinya, tanpa sadar aku melihat meja yang biasa ditempati gadis itu ketika datang ke toko kami. Sepasang muda-mudi duduk di sana. Mereka tengah asyik berbincang, sesekali terlihat wajah si gadis bersemu mendengar ucapan si pria. Pemandangan yang kontras dengan malam-malam sebelumnya.
「いらっしゃいませ」ujarku menyambut tamu yang baru saja datang. Ah, ternyata dia. Dia adalah pelanggan setia toko kami, dia datang hampir setiap hari. Hanya ketika dia sedang bepergian ke luar negeri saja dia absen. 「最近また外国に行きましたか?」tanyaku sambil menunggunya menyebutkan pesanannya 「あれ、旅行は先週でしたね」ujarku ketika tiba-tiba ingat kalau dia baru saja kembali dari kota favoritnya, Paris. Ah, aku sedikit tahu tentang tamu kami yang satu ini karena terkadang kami berbincang sebelum dia memesan makanan. Dia mengangguk dan menyebutkan pesanannya.
Jam sudah menunjukan pukul 11 malam, ini saatnya aku berbenah lalu pulang. Ketika membereskan meja yang biasa ditempati gadis itu, entah mengapa aku jadi sentimental. Aku teringat dengan apa yang disampaikannya. 「あの人は旅行が大好きです、パリによく行きます」ujarnya sambil tersenyum. Ah, perjalanan, Paris, kurasa aku cukup familiar dengan dua kata itu.
「ユウ、早くしなさいよ!今夜早く帰るから」ujar bosku membuyarkan lamunanku.
*** 

良かったら : jika anda tidak keberatan
ありがとうございます、でも明日はお国に帰りますから。
もう来ないです : terima kasih, tapi besok aku akan kembali kenegaraku. Aku tak akan datang lagi kemari.
いらっしゃいませ : selamat datang-biasa diucapkan oleh penjaga/pelayan toko untuk menyambut pengunjung yang datang.
最近また外国に行きましたか? : apakah belakangan ini anda melakukan perjalanan ke luar negeri lagi?
あれ、旅行は先週でしたね : eh, perjalanan anda baru saja selesai minggu lalu, ya!
あの人は旅行が大好きです、パリによく行きます : orang (yang ingin kutemui) sangat menyukai perjalanan, dia sering pergi ke Paris.
ユウ、早くしなさいよ!今夜早く帰るから : Yu, segera selesaikan pekerjaanmu\ karena malam ini aku ingin segera pulang.

Jakarta, 06 April 2018